Sejak pengakuan Prita tadi pagi, kami sudah bertingkah seperti biasa—dalam artian, dia mengomentari, aku yang mengomel. Seperti saat ini misalnya ketika kami pergi ke minimarket untuk membeli kebutuhan mingguan setelah disuruh Mama. Prita belum juga pulang karena satu dan lain hal. Tapi, aku tidak akan bertanya lebih banyak sebab aku menghargai privasinya.
"Kamu nggak bisa makan protein nabati terus setiap hari. Harus diselingi sama daging."
"Ini aku udah ngambil daging ayam."
Prita mendengkus. "Daging sapi."
Secara kentara, aku membuka chest freezer box dan mengambil satu bungkus sosis sapi, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ini."
Berdecak, gadis itu lantas membuka freezer box yang satunya dan mengangkat sebuah daging beku dari dalam. "Yang ini."
Bola mataku berputar malas. "Sama aja." Kemudian memasukkan sosis sapi ke dalam troli dan meninggalkan Prita dengan daging di tangan.
Selagi aku sibuk memilah sayuran dari dalam chiller, Prita mengganti sosis sapi kesukaanku dengan daging yang tadi diambilnya, lantas pergi begitu saja membawa troli ke arah lain.
"Woi!" Aku berlari menghampiri Prita dengan beberapa sayuran segar di tangan dan mendorong bahu cewek itu begitu kami berdiri sejajar. "Mana sosisnya? Kok diganti?"
Prita tidak mengindahkan ucapanku dan terus berjalan seperti robot. Oh, sekadar info, penampilannya pagi ini masih normal sebab aku terus mengomel saat Prita berniat mengkuncir rambutnya hingga tampak seperti ekor ayam. Dia terlihat mirip artis Korea sekarang.
Sebab tak ada jawaban, aku pun akhirnya menukar daging tersebut dengan sosis yang kuambil kembali dari dalam freezer, kemudian meletakannya di atas troli. Prita melotot melihat aksiku barusan. Tapi, aku hanya membalas dengan, "Uangnya nggak cukup."
Setelah semua keperluan beres, kami keluar dari minimarket dengan menenteng beberapa barang belanjaan dan berjalan kaki menuju kompleks. Aku sempat melihat beberapa tetangga dan satpam kompleks menatap kami—maksudku, Prita—dengan pandangan bertanya-tanya. Mungkin mereka heran sebab kedapatan melihat Prita sedang dalam mode normal. Biasanya kan dia ke rumahku dengan pakaian aneh.
"Prita," panggilku di sela-sela jalanan kompleks. "Kenapa pakaian kamu biasanya selalu aneh? Maksudku, kan kamu bisa pakai baju normal kayak gini."
"Buat apa? Sama aja." Jawaban Prita membuatku mengernyit dalam. "Yang penting kan pakai baju."
Oh.
Setelah tiga tahun aku menyiksa mataku dengan melihat Prita berpakaian tidak nyambung, ternyata alasannya hanya karena ini?
Aku menolak jawaban tersebut. "Nggak gitu, dong. Pakai baju kan juga ada aturannya."
"Nggak ada."
"Ada," tandasku. "Misalnya, pakai baju formal untuk ke acara formal, pakai baju main saat mau main, pakai seragam saat ke sekolah." Aku menyebutkan satu per satu aturan berpakaian diiringi dengan gerakan menghitung. "Nggak mungkin kan kita pakai seragam sekolah waktu mau ngelamar kerjaan?"
Kedua bahunya naik. "Nggak penting." Kemudian melanjutkan jalan hingga aku melihatnya tampak seperti robot rusak. Dia bahkan lupa jalan rumahku dan berniat terus maju ke depan kalau aku tidak buru-buru menarik lengan bajunya dan menyuruh berbelok.
"Kamu nggak dicariin sama orang tua kalo nginep?" Aku mencoba cari bahasa halus dari 'sana pergi, aku mau istirahat' sambil mengeluarkan satu per satu barang belanjaan.
"Entah," jawab Prita yang juga mulai memisahkan antara sayur dan kecap-kecap. "Mereka nggak di rumah."
"Oh, ya?" tanyaku pada sosis seraya memasukkannya ke dalam freezer. "Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Teenfikce"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...