26 ✿ Hancurnya Kapal

377 60 39
                                    


Setelah dua hari Gilang duduk seorang diri dan melihat keanehannya yang tiba-tiba menghampiriku, hari ini Prita kembali masuk dan terkejut bukan main saat melihat Gilang menjadi teman sebangkunya. Cowok itu tampak tidak berminat dengan reaksi Prita dan kembali sibuk menelungkupkan wajah. Aku dan Sena berpura-pura tidak tahu apa-apa dan malah bermain sepak bola yang kami buat dari kertas di atas meja.

"Oper ke sini, Nau!"

"Nggak mau! Kamu kan musuh!"

"Jangan kesana—YEHAHA DAPAT!"

"Arrghh! Minggir Sena!"

"Nggak mau!"

"Nanti bolanya—"

"GOOOOOLLLLL!"

Teriakan Sena berbanding terbalik dengan desahan kecewaku. Dia sampai mengangkat kedua tangan ke atas dan menebar kiss bye ke penjuru kelas seolah dialah pemain sepak bola sungguhan.

Aku pasrah saat Sena kembali menyoret wajahku dengan bedak tabur milik Selly. Kami melakukan permainan ini sejak tadi guru piket memberitahu bahwa Bu Yunita tidak dapat hadir dan seisi kelas disuruh mengerjakan tugas matematika. Tentu saja Sena yang pintar dan rajin ini sudah mengerjakannya dengan cepat sehingga aku bisa menyontek—jangan ditiru—setelah itu, dia mengajakku untuk bermain.

"Seru banget! Ayo main lagi!"

"Nggak, ah. Kamu curang!" Aku merengut di kursi, menyadari betapa bodohnya wajahku yang penuh coretan bedak sana sini.

"Curang gimana sih, Nau? Kamu kalah terus, sih. Jadinya males main lagi. Huuuu payah!"

Mataku sudah siap mendelik ke arah Sena, namun kuurungkan begitu dia tiba-tiba menempelkan tangannya di atas kertas yang sudah penuh oleh bedak tabur, kemudian menyodorkan telapak tangan penuh bedak itu ke wajahku.

"...."

"HAHAHAHAHAHAHA."

Itu bukan hanya Sena yang tertawa, melainkan nyaris seisi kelas yang sejak tadi memerhatikan permainan kami. Kalau aku adalah karakter kartun, dapat dipastikan hidung dan telingaku sudah mengeluarkan asap. Kujambak saja rambut Sena hingga dia yang awalnya tertawa jadi merintih kesakitan. Aku benar-benar gemas dengan anak ini. Kurasa aku harus cross check lagi tingkat kewarasanku. Jika sampai detik ini aku masih menyukai Sena, sepertinya memang benar akulah yang gila.

Selagi asyik menarik surai lembut si manis, sebuah suara tahu-tahu muncul dari arah belakang.

"Naura."

"APA?!"

Tanpa sadar, nada bicaraku naik. Baru saat melihat bahwa yang sedang berdiri di belakangku saat ini adalah Gilang, aku langsung melepaskan tanganku dari kepala Sena dan mengerjap beberapa kali.

"Ke-kenapa?"

Cowok jenius ini tidak memberi respons apa pun dan hanya melirikku dan Sena bergantian. Di sisiku, si manis masih menunduk sambil memegangi kepala.

"Ada yang pengen aku omongin," kata Gilang tiba-tiba, membuat rahangku mendadak jatuh tertarik gravitasi. "Di luar."

Mataku masih melotot begitu Gilang meninggalkan posisi tadi dan berjalan pelan keluar kelas. Sena malah langsung mengangkat kepalanya dan menatapku dengan pandangan tidak percaya. Aku balas menatapnya setengah ngeri.

"Sana, sana! Buruan!"

Cowok manis ini mendorongku untuk segera bangkit dari kursi dengan wajah penuh bedak. Meski ragu, pada akhirnya aku memberanikan diri untuk ke luar kelas sambil sesekali mengerling Sena dengan pandangan takut. Setelah meyakinkan diri, tungkaiku tiba di selasar depan kelas. Gilang sedang menyandar pada pilar seraya melihat ke arah lapangan. Bodohnya, aku lupa mengelap bedak tabur yang ada di wajahku sehingga tampangku masih cemong.

Accismus (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang