"Green Square, Green Duta City, Green Land, Green—""Kamu ngapain, Nau?"
Aku mengarahkan telapak tangan ke arah Sena yang kini sudah berada di ambang pintu UKS dengan sebungkus makanan. Mataku masih tertuju pada rentetan nama apartemen dengan nama 'Green' di depan sebab yang kuingat Gilang tinggal di sana.
"Green City, Grand Green Square, Green ...."
Sena masuk ke ruang UKS dan meletakkan sebungkus sterofoam di atas meja samping ranjang. Alasan kenapa aku dan dia bisa ada di sini nanti aku ceritakan. Sekarang, fokusku adalah untuk menemukan Green—"
"NAU!"
Aku tersentak kaget hingga hampir terjatuh dari kursi tunggu. Buru-buru Sena menggerakan tangannya untuk menahan punggungku. Dia berdecak beberapa kali sebelum akhirnya memindaiku sambil geleng-geleng.
"Kaget aku."
Aku mendengkus, lalu kembali menaruh fokus pada rentetan nama apartemen berawalan 'Green' tadi.
"Makan dulu," titah Sena yang kutangkap sebagai tawaran. Kujawab tawaran tersebut dengan anggukan kecil masih dengan fokus yang mengarah pada layar ponsel. Setelahnya, si manis berdecak dan duduk di pinggir ranjang UKS seraya mengayun kaki. "Nau ...."
"Iya, Senaaa." Entah kenapa anak ini malah jadi superperhatian padaku. Dia tidak mengizinkan aku untuk move on atau bagaimana, sih?
Tadi pagi setelah Gilang meninggalkanku di depan ruang BK, rupanya aku pingsan. Bu Rara menemukanku tergeletak di sana dan meminta tolong pada Mario—teman sekelasku yang kebetulan sedang berada di lantai dua untuk memanggil guru—supaya membawaku ke UKS. Kabar pingsanku ternyata sampai ke telinga Sena sebab saat aku bangun tadi dia sudah berada di sisiku dengan tampang panik.
Sekarang sudah memasuki bel istirahat kedua dan cowok manis ini kembali memberikan makanan padaku. Padahal, aku baru sarapan setelah siuman tadi.
"Taruh aja di sana, nanti aku makan." Aku mencoba untuk merespons Sena seadanya. Selain karena aku tidak bisa fokus akan keadaan cowok ini yang mendadak perhatian, aku memang masih kenyang.
"Kamu nyari apa, sih?" Dia melongokkan kepala ke arah ponselku yang masih menyala.
"Apartemen."
"Buat apa?"
"Buat ...." Kalimatku terpenggal. Apa aku harus mengatakan masalah Gilang ini pada Sena? Gilang mengizinkannya tidak, ya? Mengingat fakta bahwa aku dan Sena tidak dianggap sebagai teman sedikit membuat hatiku teriris. "... buat cari aja."
Jawabanku rupanya tidak berhasil menipu si manis. Sekarang, cowok itu mencondongkan tubuhnya ke arahku hingga membuat kepalaku mundur teratur. Dia pasti sudah tahu titik lemahku. Pasti.
"Bohong banget," lirih Sena dengan nada berbisik, benar-benar menggelitik telinga. Aku menggeliatkan bahu dan menutup telinga kiri dengan tangan.
"Ish. Iya, iya." Kugeser kursi bulat yang jadi tempat dudukku sedari tadi supaya menjauh dari Sena. "Aku lagi cari alamat rumah Gilang."
"Alamat?" Punggung si manis menegak. "Buat apa?"
"Buat jenguk, lah." Masa buat lamaran?
"Jenguk Gilang?"
"Jenguk kakaknya," kelakarku, membuat Sena memundurkan tubuh dengan tampang dramatis.
"Aku nggak tau kalo selama ini selera kamu om om."
Bola mataku berputar malas. "Seenggaknya aku bukan pedofil kayak kamu!"
Sena tertawa keras, paham betul apa maksudku. "Bersikap baik ke adek kelas bukan berarti pedofil, dong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Genç Kurgu"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...