24 ✿ Kencan?

419 70 15
                                    


Setelah percakapan dengan Kak Raka Sabtu kemarin, aku jadi semakin memikirkan Gilang. Prita yang masih menginap di rumahku pun jadi kesal karena aku terus-terusan salah sebut nama Gilang saat dia bertanya sesuatu seperti, "Handuknya di mana?" dan malah kujawab, "Di rumah Gilang."

Aku benar-benar kehilangan fokus. Setelah kemarin otakku diisi oleh curhatan Prita soal keluarganya, sekarang masalah keluarga Gilang juga memaksa masuk di sana. Aku heran, kenapa orang-orang ini curhat tiba-tiba padaku? Aku bahkan tidak bisa memberi solusi atas masalah mereka.

Belum lagi, bulan November nanti akan ada banyak simulasi menjelang ujian akhir sekolah. Aku jadi tidak bisa untuk fokus belajar dan malah stalking akun Instagram Gilang. Memang, sih, ini tidak ada gunanya. Tapi, bagaimana aku menghentikannya?

"Naura."

Suara Prita datang entah dari mana, membuatku yang sedang duduk santai di atas kursi belajar celangak-celinguk mencari.

"Eh? Iya, kenap—lho? Mau ke mana?" tanyaku setelah melihat Prita sudah rapi—karena pakaian yang kupinjamkan—dengan ransel tersemat di bahu kurusnya.

Dengan lempeng, dia berkata, "Pulang."

Aku mengernyit, semerta melirik jam dinding yang menggantung di atas meja belajar. "Sepagi ini?" Ini masih pukul tujuh dan kami bahkan belum sarapan.

Prita mengangguk dengan datar. "Aku ... dijemput," katanya lagi, terdengar gelisah.

"Ah ...." Tidak ada respons yang bisa kulakukan selain meringis. Aku tahu Prita tidak ingin pulang sekarang. Namun, kalau kondisinya memaksa, aku hanya bisa mengucap, "Oke, hati-hati, ya." Dengan senyum dipaksakan.

Meski sedikit kesal, sejujurnya aku juga senang Prita berada di sini. Dia sempat membantuku mengerjakan tugas meski harus berkali-kali memasang tampang geram karena aku tak kunjung paham. Namun, gadis itu tetap maklum dan kembali menceritakan tentang sejarah dan sebagainya. Aku tahu Prita senang karena bisa berbagi hal yang disuka dengan orang lain. Aura itu tergambar jelas lewat matanya semalam.

Dengan sedikit malas, Prita berjalan keluar kamarku menuju pintu depan. Aku mengikuti langkahnya dan menemukan sebuah mobil Tesla superkeren yang pernah kulihat. Aku harus menahan diri supaya tidak menganga dengan menggigit bibir. Prita sempat melirikku sekilas sebelum akhirnya memasuki mobil.

Meski dia menaiki kendaraan supermewah itu, wajahnya tidak terlihat bahagia. Jadi, sebelum pintu kembali menutup, aku memanggil, "Prita!"

Dia menoleh dengan tampang dingin nan sendu. Jemari kecil Prita bahkan meremas ujung celana yang kupinjamkan hari ini. Aku melambai ke arahnya dengan senyum ceria. "Hati-hati, ya! Kamu boleh ke sini lagi kapan pun!"

Bola mata cewek ambis itu tampak membesar sesaat dengan senyum kecil yang mengembang di bibir. Dia tidak menjawab apa pun dan hanya mengisyaratkan kata 'OK' dengan ibu jari dan telunjuk. Aku balas memberi jempol sebelum pintu estetis itu benar-benar tertutup.

Tungkaiku kembali berjalan ke dalam dan mengunci pintu sebab saat ini aku sendirian di rumah. Ponsel kembali kuraih dikarenakan suasana yang mendadak sunyi ini entah kenapa membuatku resah. Meski tidak memiliki saudara, setidaknya mamaku selalu di rumah dan hanya keluar jika ada keperluan saja. Namun hari ini, kedua orang tuaku baru akan sampai rumah malam hari dan aku harus siap dengan kesunyian ini sampai beberapa jam ke depan.

Aku memang sudah mandi sebab tadi kami berencana mencari makan usai membilas tubuh. Prita yang menyuruhku karena tahu aku tidak akan mandi kalau tidak disuruh. Anak itu jadi memperhatikan gerak-gerikku. Lucu sekali.

Namun, tentu saja niat kami untuk mencari sarapan itu sirna tatkala dia mengatakan akan pulang pagi ini. Lagi pula, perutku memang belum lapar. Mungkin, baiknya aku tidur dan mencari makan saat siang saja.

Accismus (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang