22 ✿ Karena Aku Ingin

353 77 16
                                    


Oke. Tenangkan dirimu, Naura.

"Huh."

Aku mengembuskan napas pelan-pelan setelah lima menit lamanya berdiri di depan pintu apartemen Gilang tanpa melakukan apa pun. Perasaan aneh mulai menyeruak ke rongga dada, membuatku sesak. Entah sudah keberapa kalinya aku mengirim pesan pada Sena dan menyuruhnya segera kembali.

Kami sudah sampai di Burgundy Tower sejak sepuluh menit yang lalu. Namun, Sena bilang kalau dia akan membeli beberapa buah-buahan di minimarket terdekat bersama Prita. Aku bermaksud mengikuti mereka berdua, namun cowok manis itu malah menyuruhku untuk pergi duluan sebab dia bilang Kak Raka sudah menunggu.

Ya, memang sih dia sedang menunggu. Tapi, kan di dalam rumah? Maksudku, Kak Raka akan baik-baik aja kalau dia menunggu lima belas menit lebih lama lagi. Dia tidak akan kepanasan atau kehujanan, kan? Sena benar-benar aneh.

Baru ketika aku hendak menghubungi Sena untuk yang ketujuh kalinya, pintu apartemen Gilang terbuka. Sosok laki-laki ganteng berwajah ramah langsung menyambutku di depan pintu. Aku terkejut melihat keberadaan Kak Raka yang tiba-tiba. Kak Raka pun terkejut melihatku terkejut. Aku lebih terkejut lagi dengan reaksi keterkejutan Kak Raka yang lebay.

Apaan, sih?

"Hai, Ra. Udah dateng?" Seperti biasa, dia menyapaku dengan superramah. "Kok bengong? Masuk sini!"

Aku tidak mengatakan apa pun dan hanya nyengir kaku. Laki-laki yang berstatus sebagai kakaknya Gilang ini menggeser sedikit tubuh untuk membiarkanku lewat. Tungkaiku berjalan perlahan dengan perasaan aneh di perut dan dada. Kupandang sekeliling, apartemen ini kosong. Hanya ada satu buah laptop terbuka yang ada di atas meja. Gilang tidak terlihat di sudut mana pun.

"Duduk dulu, Ra." Kak Raka mempersilakanku dan berjalan ke dapur untuk mengambil sesuatu. Aku pun menuruti dan duduk di sofa dengan sangat kaku. "Sena sama yang lain mana?"

"Mereka lagi ke minimarket dulu, Kak." Aku menjawab seadanya.

"Oh, ya? Kakak juga mau ke bawah setelah ini." Satu botol teh kemasan dan beberapa cemilan diletakkan di atas meja. "Kalau gitu Kakak tinggal dulu deh, Ra. Gilang ada di kamar, kok. Kalau kamu bosan, panggil aja."

Tanpa sadar, aku bergidik ngeri. "Ng-nggak usah, Kak. Aku tunggu yang lain aja."

Kak Raka menggodaku dengan senyum meledek. "Iya, deh. Kakak juga cuma mau beli makanan buat siang, kok. Nggak lama."

"Aamiin," sahutku tidak sadar, membuatku cepat-cepat menepuk mulut. Kak Raka sendiri tertawa dengan kepolosanku.

Tak lama kemudian, dia pergi meninggalkanku sendiri di rumah ini. Ah, ralat. Berdua. Namun, sebab Gilang masih mengurung diri di kamar, aku akan menganggapnya tidak ada.

Tubuhku bersandar pada sofa yang hanya muat untuk diduduki tiga orang. Aku menghela napas. Kuharap ketenangan ini tidak segera berakhir dengan keluarnya Gilang dari kamar. Aku benar-benar takut, entah karena sebab apa. Mungkin, aku takut Gilang akan mengusirku lagi seperti waktu di dekat kolam renang?

Baru ketika aku hendak mengambil minum, pintu kamar Gilang terbuka. Aku membatu dengan tubuh yang condong ke arah meja dan tangan yang hampir menyentuh Teh Botol. Seekor anak kucing putih keluar dari kamar tersebut dengan ngeongan lucu dan kembali masuk ke kamar Gilang begitu merasa sang pemilik tidak mengikuti langkah kecilnya. Beberapa detik kemudian, makhluk mungil itu keluar lagi dengan sesekali melongok ke belakang, diikuti Gilang yang sedang mengalungkan kamera sambil membawa mainan tikus-tikusan.

"...."

"...."

Kami saling bertatapan selama beberapa detik tanpa suara dengan posisi masing-masing. Gilang sepertinya terkejut melihatku memergokinya sedang bermain kucing sambil membawa tikus-tikusan—mungkin dia pikir itu aib?—Selanjutnya, si cowok jenius langsung mengalihkan pandangan ke arah dapur dan berjalan ke sana untuk mengambil makanan kucing. Aku sendiri langsung melanjutkan aktivitasku menyomot Teh Botol di atas meja.

Accismus (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang