Usai mendapat jawaban dari Reyhan, aku langsung masuk ke dalam kerumunan dan menemukan Sena yang duduk sambil menundukkan kepala selagi menunggu cairan berwarna merah berhenti keluar dari hidungnya.
Dia melirikku dari ekor mata, lantas berkata, "Oh? Hai, Nau."
Aku mendesis, kemudian meletakkan sterofoam bubur ayam di atas meja Sena. "Apanya yang 'hai'?" protesku. Dia terkekeh sejenak sebelum aku kembali bertanya, "Kamu kenapa? Diapain sama Gilang?"
"Haa?" Seolah tidak mendengar ucapanku, Sena hanya berkelit hah hoh hah hoh. Tangan kirinya melambai kecil sementara tangan kanan ia gunakan untuk menutupi darah yang hendak keluar dari hidung. "Kamu ngomong apa? Aku nggak kenapa-napa."
Aku berdecak. "Nggak kenapa-napa apanya? Jelas-jelas kamu mimisan!"
"Cuma mimisan." Lagi-lagi Sena berlagak sok kuat. "Udah biasa."
Mengambil dan mengembuskan napas, netraku menemukan beberapa tetes darah yang masih turun dari hidung Sena meski dia sudah menutupnya dengan tangan. Gerakan tangan kiri Sena yang mencari sesuatu kontan membuat Regia memberikan sekotak tisu yang langsung diterima dengan senang hati. Tisu itu digunakan untuk mengelap punggung tangannya yang kotor terkena darah.
"Ini kenapa pada ngumpul di sini, sih? Malu, tau." Bisa-bisanya dia berguyon padahal kami sedang mengkhawatirkannya. Sena memang begitu, suka membuat orang lain senang meskipun dirinya sedang menderita.
"Ke UKS aja, Sen." Rika memberi saran supaya Sena berhenti dengan aksi sok kuat itu. Tetapi, tentu saja dia menolak.
"Nggak usah. Aku cuma-HATSYI!"
Detik berikutnya, seragam putih abu-abu milik Sena sudah terkena tumpahan darah yang sedari tadi dia tahan. Kami semua sontak mundur teratur sebab beberapa darahnya menyiprat mengenai sekitar. Dasiku bahkan terkena semburannya.
"Wow. Malah jadi kayak ada pembunuhan," selorohnya sambil menyumpal hidung dengan tisu. "Udah dibilang jauh-jauh, malah pada di sini."
Aksi Sena itu tentu saja mengundang tatapan ngeri kami karena seragam yang ia kenakan benar-benar terkena banyak sekali darah. Melody sampai membuang muka sebab tidak ingin melihat seragam tersebut.
Aku menghela napas kasar, kemudian menarik lengan Sena dan menyeretnya ke UKS. Jika tidak ada yang melakukan ini, Sena tidak mungkin melakukannya sendirian.
Setelah menyuruhnya duduk di atas kasur UKS, aku pergi ke kantin dan meminta es batu yang masih utuh kepada ibu kantin untuk kemudian aku lilitkan dalam sapu tangan yang selalu kubawa, lantas memberikannya pada Sena yang masih diam memerhatikan gerak-gerikku.
"Nau," dia memanggil. "Aku nggak papa."
Aku tidak memperdulikan omongan tersebut dan langsung mengambil tisu untuk menggantikan gumpalan tisu penuh darah yang menyumpal hidungnya. Setelah beberapa kali pergantian, gulungan es tersebut kurekatkan pada hidung mancung Sena. Dia diam beberapa saat memerhatikanku yang sibuk. Aku sendiri tidak mengatakan apa pun padanya sebab dadaku sudah terasa sesak.
"Nau ...."
Aku heran, kenapa Gilang bisa melakukan ini? Tanpa dasar dan sebab tiba-tiba memukul Sena sampai mimisan? Ke mana Gilang yang kukenal? Yang selalu diam dan sabar dengan segala tingkahku? Apa dia cemburu melihat kedekatanku dengan Sena? Hello? Ke mana aja dia selama ini? Aku bahkan berusaha menjaga jarak dari Sena setelah Gilang mengatakan bahwa dia menyukaiku. Tapi sekarang, apa?
Bahkan, aku baru sadar kalau aku sudah menangis saat Sena menggunakan tangan kanannya untuk mengelap air mataku-tangan kanannya masih ada darah sehingga wajahku ikut terkena. Aku mundur satu langkah supaya kupu-kupu dalam perutku tidak bermetamorfosa menjadi sesuatu yang lebih besar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Ficção Adolescente"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...