7 ✿ Tentang Mereka

455 100 1
                                    


Aku benar-benar harus mencuci pikiran dari segala kerumitan kelompokku yang aneh. Jadi, pagi ini aku sudah rapi dengan hoodie putih dan celana denim. 

Kakiku berderap menyusuri jalan kompleks yang sebenarnya tidak terlalu asri sebab rumahku bukan berada di kompleks elite. Kurasa aku harus pergi melihat pemandangan yang hijau seperti taman dan bunga-bunga supaya otakku bisa istirahat dengan tenang.

Namun, otakku masih belum bisa diajak tenang sebab kini sebuah pemandangan di depan mataku sukses membuatku merengut.

Gilang dengan jaket hitam dan celana chino abu sedang berdiri di depan halte bus yang berjarak dua kompleks dari rumahku. Mungkin, aku akan langsung menghampiri dan mengomelinya kalau anak itu sedang sendirian di sana—dia tidak ikut latihan dan meninggalkanku dengan Sena dan Prita, ingat?—Namun, berhubung ada sosok lain yang sedang mengobrol dengan Gilang di sisi kiri, tungkaiku malah berhenti melangkah.

Ada seorang perempuan dengan rambut lurus panjang sepunggung. Cantiknya setara dengan Prita, hanya saja versi normal. Cewek itu mengenakan pakaian semi formal dengan blazer krem dan celana putih. Keduanya tampak santai bercengkrama sampai sebuah mini bus datang dan mereka masuk ke dalamnya.

Aku berdecih. Jadi ini ... hari libur tanpa beban versi Gilang? Pantas saja dia tidak mau ikut latihan.

Aku tahu harusnya aku tetap berjalan menuju taman seperti biasa dan mengabaikan dua manusia yang sedang menaiki bus. Namun, yang kulakukan saat ini justru sebaliknya.

Seperti efek magnetik, tubuhku tertarik untuk masuk ke dalam bus itu secara diam-diam setelah menaikkan tudung hoodie. Kurasa aku harus mencari bukti untuk mengomeli Gilang saat dia kembali nanti. Maka dari itu, aku harus berhasil memotretnya diam-diam.

Posisi dudukku saat ini berada di paling belakang bus, sementara Gilang dan pacarnya berada di baris ketiga. Mereka tampak berbincang santai sambil sesekali tertawa. Gilang pun membalas tawa itu dengan senyum yang mirip seperti saat dia melihat mamaku. Atas dasar itu, aku membuka aplikasi kamera dan berniat memotret keduanya. Namun lagi-lagi aku merasa bodoh.

Tahu kan, kalau ponsel tidak sedang dalam mode bisu, dia akan berbunyi saat memotret? Yap. Itu terjadi padaku barusan.

Aku ketahuan memotet Gilang! Maksudku, aku tidak tahu apakah dia melihatku atau tidak. Tapi yang jelas, suara ponsel ini berhasil membuatku gelagapan. Aku berusaha mengganti gaya sambil berpura-pura swafoto saat kamera berbunyi nyaring begitu membidik mereka.

Gilang sepertinya menyadari usahaku itu sebab dari ekor mata aku bisa melihat dia memandangku judes. Tapi, aku tetap melanjutkan aksi sandiwara ini. Bapak-bapak di sebelahku pasti mengira aku orang gila karena terus-terusan bergaya, padahal aku sedang memotret depan.

Setelah mendapat cukup banyak bukti—walau hasilnya tidak sesuai ekspetasi—aku menurunkan ponsel dan menunduk sambil berlagak melihat aplikasi Instagram. Sekarang, aku hanya bisa berharap untuk turun di halte terdekat sebab saat ini bus sepertinya akan berhenti saat sebuah kaki berada di hadapanku dan—

"Ngapain?"

—"HUA!"

Aku meringsut sambil mengangkat kaki ke pojok kursi begitu tubuh Gilang tiba-tiba menjulang persis di hadapanku.

"M-maksudya?"

Gilang merespons pertanyaan barusan dengan melirik sinis ke arah ponselku—yang untungnya kini sudah kualihkan jadi Instagram. Aku mengikuti arah pandangnya dan menyorot si cowok jenius dengan tatapan 'Aku lagi main Instagram. Ada masalah?'

Dia mendengkus kesal. "Kamu ngapain di sini?"

Ngapain, ya? Nggak mungkin aku jawab 'ngikutin kamu', kan?

Accismus (VERSI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang