🥀 Warning : Mention of suicide, death, self harm 🥀
🌸🌸🌸
Kelas telah selesai di hias, semua murid yang jadi hantu siap di posisi masing-masing. Begitu pun aku dan Gilang kini duduk bersisian.
Dari target seratus tiket yang terjual, baru sekitar dua puluh orang yang membeli. Memang, sih, ini masih pukul sembilan pagi. Masih banyak waktu untuk kami mendagangkan tiket ini. Dikarenakan tidak mungkin memasukkan satu per satu orang ke dalam kelas berhantu, maka kami memberi jumlah minimum yang bisa masuk, yakni sebanyak empat sampai lima orang per sesi.
"Wahh, keren banget ya penampilan lagu dari kelas 11 IPS 1. Kalau gitu, nggak usah berlama-lama, kita langsung aja ke pertandingan selanjutnya, yaitu 12 IPS 1 melawan 12 IPA 2!"
Seluruh temanku bersorak-sorai begitu nama kelas kami di sebut. Tadinya, aku ingin melakukan hal yang sama. Tapi, aku ingat kalau yang tanding nanti adalah Sena dan Gilang saat ini sedang berada di sebelahku. Jadi, aku hanya akan menyamar jadi batu. Aku harus menghargai perasaan Gilang.
Segerombolan cowok yang akan bermain berkumpul di depan kelas kami, membentuk lingkaran. Tangan kanan mereka letakkan di depan sambil meneriakkan sebuah sorakan, "12 IPS 1? PANTANG MUNDUR! HUH! HAH! HUH! HAH!"
Aku menganga mendengar nada 'huh hah huh hah' yang seperti gorila. Setelah mengucap yel-yel tadi, mereka semua mulai memasuki area lapangan. Teriakan para adik kelas menggema begitu Sena datang dengan gantengnya sambil mengibas surai, seolah tahu bahwa dia akan menjadi pusat perhatian.
"Aahh sumpaahh Kak Sena ganteng bangeett!"
"Boleh minta foto nggak, sih?"
"Mana anaknya ramah banget. Humoris lagi."
"Emang paket lengkap sih Kak Sena tuh."
"Aku wajib minta foto setelah dia tampil nanti!"
Begitu kira-kira ungkapan para adik kelas. Kupingku jadi panas sendiri. Sepertinya dulu aku tidak selebay itu deh dalam mengagumi Sena. Atau, ini semata-mata karena aku sudah tahu sifat aslinya yang superusil dan nyebelin? Entahlah.
Pertandingan dimulai. Servis diambil dari kelas 12 IPA 2 dan terus berlanjut. Sena berada di baris tengah belakang, menjadi libero dalam permainan ini. Beberapa kali cowok itu melakukan passing ke rekan satu tim guna mengontrol arah bola. Gerakan Sena yang gesit memang cocok mengisi posisi ini.
Aku terlalu sibuk memerhatikan si manis sampai tidak sadar bahwa beberapa orang sudah mengantre untuk membeli tiket. Gilang tidak mengatakan apa pun padaku dan hanya melayani pengunjung dengan ekspresi semi datar. Buru-buru aku membantunya untuk menyervis pembeli.
Sekitar lima menit kami berkutat dengan pengunjung yang akan masuk, akhirnya aku bisa juga kembali menonton pertandingan. Namun saat mataku hendak melihat ke arah lapangan, ponsel Sena yang ada di dalam tas berdering. Tertera sebuah nama yang aku tidak tahu siapa. Tak lama kemudian, permainan set pertama berakhir. Para pemain diberi jeda tiga menit untuk istirahat minum dan mengganti posisi.
Sena menghampiriku dengan peluh yang membasahi dahi. Seperti biasa, dia mengibas poni panjangnya ke belakang, membuat para adik kelas yang berjarak tiga meter dariku berteriak pelan.
"Tolong ambilin tasku, Nau," kata Sena begitu dia sampai di hadapanku.
Tanpa berlama-lama lagi, aku segera memberikan tas Sena yang tadi sempat ia titipkan padaku, kemudian menyodorkan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Teen Fiction"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...