Gilang tidak merespons pesan Instagramku, tentu saja. Masih syukur dia tidak memblokirku.
Saat ini memasuki istirahat makan siang, tetapi aku bahkan belum berminat untuk pergi ke kantin. Beberapa teman banyak yang membawa gitar untuk latihan sebab besok kami sudah harus tampil dengan masing-masing kelompok. Kalau kelompokku sendiri ... entahlah. Rasanya aku tidak ingin latihan sampai Gilang datang.
Bukannya aku merindukannya, sih. Aku hanya tidak ingin jadi nyamuk kalau latihan bertiga dengan Sena dan Prita. Lagi pula, kupu-kupu di perutku kan sedang memberontak.
"Nau, aku mau ke kantin. Ayo, makan!"
Aku menjawab ajakan Melody sambil menggeleng lemah. Kepalaku sedang bertumpu dagu di atas meja sambil menatap layar ponsel.
"Galau banget nggak ada Gilang, Nau." Itu suara Selly. Aku tidak membantah ucapannya karena aku memang sedang galau saat ini.
Melody dan Selly saling tatap begitu melihatku yang terus-menerus meratapi pesan Instagramku pada Gilang. Mereka pasti mengira aku gila. Masa bodoh. Aku sedang tidak ingin berdebat.
"Oke, kalau gitu kita duluan."
Setelah mengangguk lemah, keduanya berjalan meninggalkanku sendirian. Aku menelungkupkan wajah di atas meja sambil menggoyang-goyangkan kaki. Sejujurnya, aku benci situasi ini.
Maksudku, aku tahu kalau Sena disukai oleh banyak orang karena dia ganteng, baik, ramah, dan sebagainya. Aku juga tahu kalau menjadi teman sekelompok Sena tidak termasuk ke dalam daftar hal-hal yang ingin kulakukan sebelum mati sebab hal itu sama saja dengan bunuh diri. Sekarang terbukti, kan?
"Kupu-kupu sialaaannn!"
Kenapa aku jadi selemah ini, sih? Harusnya aku biasa saja! Toh, selama bertahun-tahun aku bisa menyembunyikan perasaanku pada Sena. Aku terbiasa melihatnya dekat dengan semua orang. Malah, aku selalu memasang benteng di antara kami supaya dia tidak mengusik ketenangan hatiku. Aku hanya ingin menyukainya dan tidak pernah berharap dia juga menyukaiku, kok. Tapi kenapa—
"Nau?"
—kenapa dia memanggilku?
Aku mengerang lesu dan menolehkan kepala ke arah Sena masih dengan posisi di atas meja. Cowok manis ini terkejut begitu melihat tampangku yang horor. Sepertinya aku sempat mengeluarkan air mata saat menunduk tadi. Entah kenapa hatiku jadi serapuh kerupuk.
"Kamu kenapa, Nau? Sakit?" Sena memasang badan dan duduk di kursi Melody sambil mengangkat poniku dan meletakkan tangannya di atas sana.
Sesungguhnya aku benci ini. Aku sedang tidak ingin melihatnya, tapi kenapa dia malah datang di hadapanku dengan memberi sejuta perhatian? Apa salahku, Sen?
"A-aku ...."
"Aku bawa ke UKS, ya?"
UKS, ya ....
Sepertinya itu bukan pilihan yang buruk. Saat di UKS, aku tidak akan melihatnya, kan?
Namun kemudian, aku sadar kalau kabur bukanlah sebuah jalan keluar. Saat aku berada di UKS nanti, Sena mungkin bisa mengunjungiku. Buruknya lagi, dia bisa beralasan kepada guru untuk menemaniku di UKS dan aku sama sekali tidak ingin hal itu terjadi.
"Nggak usah. Aku di sini aja."
"Tapi muka kamu pucet banget, Nau."
Seringai kecil keluar dari bibirku saat mendengar itu. Tentu saja wajahku pucat. Aku bahkan belum sarapan sejak pagi dan tidak berminat untuk makan siang ini. Kurasa pingsan lebih baik sebab aku tidak perlu memikirkan Sena dan Prita yang saat ini sedang dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accismus (VERSI REVISI)
Fiksi Remaja"Kotak pos belum diisi mari kita isi dengan isi-isian, siapa yang kena harus terima tantangan!" * Aku Naura, murid biasa-biasa saja yang menyukai Sena, teman sekelas super-famous dalam diam. Tapi karena sebuah permainan konyol yang menyuruhku menyeb...