21 | Kemarahan Yang Baru

866 79 0
                                    

Biantoro membuka ponselnya pagi itu dan melihat ada dua pesan masuk dari Fani. Ia benar-benar merasa muak dengan wanita itu, namun tetap saja ia membuka pesan yang Fani kirimkan untuk dibaca.


FANI
Pembohong kamu! Tika Harmoko jelas bukan wanita yang sudah membuat rumah tangga kita hancur! Dia saat ini sudah bertunangan dengan pria pilihannya dan pilihan keluarganya! Lihat saja sendiri dalam foto yang kukirim ini! Dia tampak begitu bahagia bersama calon Suaminya saat aku tiba di rumah Keluarga Harmoko bersama keluargaku!

Setelah membaca pesan itu, Biantoro pun buru-buru melihat foto yang Fani kirimkan. Di dalam foto itu terlihat jelas sosok Tika yang sedang duduk tepat di samping seorang pria. Mereka tampak sedang saling menatap dengan penuh cinta dan juga tersenyum bahagia. Rasanya dada Biantoro mendadak sesak ketika melihat Tika tersenyum untuk pria lain. Wajah dan senyuman yang cantik itu kini telah tertuju pada sosok yang diimpikannya.

"Kenapa? Kenapa Tika? Kenapa kamu justru melanjutkan pertunanganmu dengan pria itu, setelah aku memberimu ancaman melalui Manda? Apakah aku benar-benar tidak pernah berarti apa-apa bagimu selama ini?" gumam Biantoro, sambil memegangi dadanya yang terasa seperti diiris-iris oleh sesuatu.

Satu pesan lainnya masuk tak lama kemudian. Masih dari Fani. Biantoro kembali membaca pesan itu meski merasa enggan.

FANI
Angkat teleponku. Aku akan menelepon kamu sebentar lagi.

Tak berapa lama kemudian, Fani benar-benar menelepon Biantoro. Mau tak mau, pria itu mengangkat telepon dari Fani karena sedang malas berdebat.

"Langsung saja. Kamu mau apa?" tanya Biantoro, ketus.

"Kamu pembohong! Katakan dengan jujur padaku, siapa wanita itu sebenarnya? Aku mau bertemu dia!" Fani balas bicara ketus pada Biantoro.

"Sudah kubilang kalau wanita itu adalah Tika Harmoko! Kurang jelas apa jawabanku?"

"Kamu bohong! Tika jelas-jelas tidak ada perasaan apa pun terhadapmu! Keluarganya semua bersaksi dan bahkan Tika sendiri bersumpah di hadapanku bahwa dia tidak pernah punya hubungan apa-apa denganmu! Bahkan lebih dari itu yang kudapatkan hari ini! Tika dan Adiknya yang bernama Manda ternyata sudah lama tidak bertemu dengan kamu! Mereka sudah tujuh bulan pindah tugas dari kantor yang kamu pimpin! Bahkan pimpinan di kantornya Tika dan Manda hari ini juga ikut bersaksi, bahwa selama tujuh bulan terakhir Tika tidak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun, termasuk kamu!" bentak Fani, tak peduli jika pada akhirnya Biantoro akan menyebutnya kasar.

"Hah? Sudah pindah tugas selama tujuh bulan? Apa maksudmu? Tika dan Manda tidak pernah pindah tugas dari kantor yang aku pimpin! Mereka adalah bawahanku dan aku menyukai Tika karena dia mampu membuatku nyaman ketika sedang bersamanya! Jangan mengada-ada kamu!" balas Biantoro, cukup bingung dengan apa yang baru saja didengarnya dari Fani.

"Kamu yang jangan mengada-ada! Jelas-jelas mereka sudah tidak pernah bertemu dengan kamu selama tujuh bulan terakhir dan sudah bekerja di Polda Garut selama rentang waktu tujuh bulan. Mereka bahkan memberikan bukti padaku, tentang surat pemindahan tugas yang mereka tanda tangani! Aku rasa kamu hanya mencari-cari alasan agar bisa menceraikan aku! Semuanya bohong, ketika kamu menyebutkan soal adanya perempuan lain yang sudah membuatmu merasa nyaman! Jawab aku! Benar begitu, 'kan?" cecar Fani.

"Diam kamu Fani! Aku cinta sama Tika dan aku yakin dia pun juga mencintai aku! Cukup dengan semua drama yang kamu buat! Aku benar-benar muak sama kamu dan tidak mau lagi aku mendengar ocehan kamu tentang bohong dan lain sebagainya!" bentak Biantoro, jauh lebih keras dari pada bentakan awal tadi.

Sambungan telepon itu kembali terputus setelah Biantoro mematikannya secara sepihak. Fani kembali mengirimkan dua buah foto lainnya pada Biantoro, sehingga Biantoro bisa melihat dengan jelas bukti surat pemindahan tugas atas nama Tika dan Manda. Ia memperhatikan tanggal dan bulan pada kedua surat itu, lalu melihat siapa orang yang telah menerima Manda dan Tika untuk bisa bekerja di Polda Garut.

"Roni," geram Biantoro. "Ternyata kamu membantu mereka berdua agar mantan Istriku tidak percaya dengan ucapanku soal Tika. Kurang ajar! Aku akan membuatmu menyesal jika akhirnya kita akan bertemu lagi!"

Biantoro merasa sangat marah ketika melihat dua surat yang Fani kirimkan daripada foto Tika bersama calon suaminya. Hal itu seakan memicu kemarahan yang begitu besar di dalam diri Biantoro yang selama ini sering dipendam-pendamnya. Ia sering mengalah, ia sering merendah demi menjaga nama baik. Tapi sayang, mengalah dan merendah ternyata bukan solusi yang tepat saat berada di tengah-tengah keluarga yang sombong seperti Keluarga Kusmawardi. Harga diri Biantoro hanya semakin diinjak-injak oleh mereka dan Biantoro hanya terlihat sebagai kacung jika sedang berkumpul bersama anggota keluarga yang lain.

Sungguh sangat berbeda dengan keadaan di dalam Keluarga Harmoko yang bisa ia lihat di dalam foto pertama yang tadi dikirim oleh Fani. Di sekeliling Tika ada banyak orang-orang yang sudah jelas adalah keluarga besarnya, dan di antara mereka sama sekali tidak ada yang terlihat saling menjauh. Mereka tampak sangat kompak dan saling mendukung. Itulah yang menjadi sesal terbesar bagi Biantoro. Andai saja dulu dirinya tidak memilih untuk memberi pelet pada Fani dan menikahinya, maka mungkin saat ini Tika akan mempertimbangkan dirinya agar bisa menjadi bagian dari Keluarga Harmoko.

Narendra mendekat pada Pram yang saat itu sedang menatap taman depan menara dari balkon lantai dua. Pram tahu kalau Narendra kini berada di sampingnya, meski ia tidak menoleh. Hal itu membuatnya memberikan ruang agar Narendra bisa menemaninya.

"Apakah Ayah akan memberikan kesempatan, seandainya laki-laki bernama Biantoro itu belum memiliki Istri dan tidak berkelakuan buruk serta tidak bersekutu dengan Iblis?" tanya Narendra.

Pram tertawa pelan.

"Mana bisa Ayah memberikan dia kesempatan, jika Tika sendiri tidak pernah membuka hatinya? Ayah selalu memberikan restu dan tampak seperti orang yang menentukan dengan siapa Cucu-cucuku akan bersanding. Bisa dibilang, itu hanyalah kedok. Inti terbesarnya adalah kepada siapa hati Cucu-cucuku terbuka, maka kepada orang itulah Ayah akan memberikan restu. Seperti halnya Laras terhadap kamu. Meskipun dulu kamu melamarnya sampai bermandi darah, kalau Laras tidak membuka hatinya untuk kamu, maka kamu tidak akan pernah menerima restu dari Ayah. Soal pantas dan tidak pantasnya seseorang menjadi menantu di dalam Keluarga Harmoko, jelas tidak ada hubungannya dengan pendapat Ayah. Takdir Allah yang berjalan di dalam keluarga kita selama ini, Nak. Bukan karena kehendak hati kita sendiri," jawab Pram.

"Jadi ... sebenarnya semua tetap terserah Tika, ya?" pikir Narendra.

"Iya. Tapi Tika itu 'kan sangat waras dan harga dirinya adalah yang paling tinggi di antara semua anak-anakmu. Wajar kalau akhirnya hanya Zian yang bisa membuatnya luluh. Padahal kita berdua tahu, bahwa mustahil akan ada pria yang bisa membuat hati Tika yang keras itu menjadi luluh. Tapi nyatanya, Zian berhasil berkat kegigihannya sendiri dan tanpa bantuan kita yang sudah hendak menjodohkan mereka berdua. Itu tandanya, Zian memang orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup Tika," tambah Pram, sambil menepuk-nepuk pundak Narendra dengan tegas.

Tika mendengar hal itu dari balik pintu menuju balkon depan. Ia tersenyum saat memikirkan tentang kegigihan Zian yang baru saja disebut-sebut oleh Pram.

"Hm ... tampaknya itu benar dan aku sendiri jelas tidak bisa menampik betapa gigihnya Zian ketika meyakinkan diriku," batin Tika, seiring dengan jantung yang terus berdebar karena memikirkan Zian.

* * *

TUMBAL UMURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang