EPILOG

1.2K 78 21
                                    

Tika masih berlutut di halaman depan menara milik Keluarga Harmoko untuk memohon ampunan dari banyaknya peraturan keluarga yang ia langgar beberapa hari lalu. Saat itu sudah hari ketujuh ia menjalani hukumannya. Ia hanya boleh berdiri ketika akan shalat dan makan. Selain daripada itu, ia harus terus berlutut sampai Pram memberinya maaf.


"Kak Tika masih harus menjalani hukumannya sampai kapan, Kakek? Besok dia akan menikah. Apakah dia harus duduk saja ketika berada di pelaminan bersama Kak Zian akibat kakinya merasa lelah?" tanya Yvanna.

Pram menoleh ke arah Yvanna dan menghentikan kegiatannya membaca buku. Pria paruh baya itu kini menyimpan bukunya ke atas meja yang ada di balkon lantai dua menara tersebut, lalu meminum teh rempah buatan Yvanna.

"Kamu itu berani sekali menanyakan pertanyaan yang bahkan tidak berani ditanyakan oleh Ayah dan Ibumu kepada Kakek. Bukankah sejak dulu kamu sudah tahu, bahwa melanggar peraturan keluarga di dalam keluarga kita jelas ada yang namanya konsekuensi? Apakah kamu juga butuh diingatkan kembali mengenai hal itu agar tidak mempertanyakannya kepada Kakek?" Pram bertanya balik.

Yvanna tetap saja setenang dan sedatar tadi. Pram bisa melihat ekspresi yang sama seperti ekspresi Almarhumah istrinya, ketika melihat Yvanna yang sedang berdiam diri seperti itu.

"Dia sudah menyesalinya, Kakek. Dia sudah sadar bahwa melanggar peraturan jelas tidak akan pernah bisa membuatnya lolos dari jerat hukuman yang keluarga kita terapkan. Tapi apakah tujuh hari berlutut di halaman depan sana itu masih kurang bagi Kakek?" tanya Yvanna lagi.

Pram pun terdiam. Ia tak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan Yvanna kali itu.

"Bahkan Allah saja memiliki sifat Maha Pemaaf terhadap hamba-hamba-Nya yang berbuat banyak dosa. Tapi Kakekku sendiri justru memiliki sifat yang lebih egois dari sifat Allah. Sungguh mengecewakan."

Yvanna pun bangkit dari kursi yang tengah di dudukinya, lalu pergi ke dalam rumah tanpa menatap lagi ke arah Pram. Pram menatap tak percaya ke arah Yvanna. Perasaannya mendadak tidak enak ketika tahu bahwa salah satu cucunya merasa kecewa dengan sikapnya. Terlebih karena yang merasa kecewa padanya adalah Yvanna, cucu kesayangannya. Hal itu jelas sukses membuat Pram langsung bangkit dari kursinya dan ikut masuk ke dalam rumah. Pria paruh baya itu tidak berhasil menemukan Yvanna, dan hanya mendapatkan tatapan bingung dari seluruh anggota keluarga yang ada.

"Kakek mencari siapa?" tanya Silvia.

"Adik iparmu. Ke mana dia?" Pram bertanya balik.

"Adik iparku, Kek? Yang mana Adik iparku yang Kakek maksud? Tika? Manda? Lili? Reza? Naya? Ben? Atau Yv ...."

"Yvanna," potong Pram dengan cepat.

"Oh ... Yvanna baru saja ke kamarnya, Kakek. Dia bilang ingin mengemas pakaiannya dan pakaian Ben ke dalam koper," ujar Silvia.

Pram tampak terkejut usai mendengar jawaban dari Silvia.

"Mengemas pakaiannya dan pakaian Ben? Besok 'kan hari pernikahannya Tika dan Zian. Memangnya dia mau ke mana hari ini sehingga harus mengemas pakaian ke dalam koper?" Pram benar-benar cemas sekarang.

"Ya ... Tika 'kan masih dihukum. Jadi jelas kemungkinan besar pernikahannya dengan Zian akan diundur. Begitulah yang dikatakan oleh Ayah kepada kami semua. Kalau hukuman untuk Tika bisa selesai hari ini, maka besok pernikahannya akan terjadi. Tapi kalau masih belum selesai hukumannya, maka pernikahan Tika akan diundur," jelas Silvia.

"Ayahmu berkata begitu? Benar-benar Rendra itu! Hm ... kalau begitu tidak ada pilihan lain sekarang. Yvanna dan Ben tidak boleh pergi ke mana-mana. Pernikahan Tika dan Zian juga tidak boleh diundur. Karena kamu adalah Cucu menantu paling tua di rumah ini, maka Kakek akan memberikan mandat kepadamu untuk mengatur semua itu," perintah Pram.

TUMBAL UMURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang