9 | Keinginan Untuk Mati

864 87 1
                                    

Perjalanan itu kembali berlanjut. Tika dan Manda masih berdiam diri sambil menatap surat keputusan pemindahan tugas yang tadi sudah ditandatangani oleh Roni serta oleh mereka berdua. Surat itu benar-benar mereka kirim dan terima melalui mesin fax yang ada di rumah Astri. Kini mereka benar-benar resmi tercatat sebagai anggota Polisi yang bertugas di Polda Garut, tepatnya di bawah pimpinan AKP Muhammad Syahroni.


"Istrinya Pak Roni itu pengertian sekali, ya. Dia sampai segitu care-nya dengan apa yang sedang kita hadapi saat ini, hanya karena mendengar penjelasan dari salah satu rekan kita di kantor yang lama mengenai rencana buruk Pak Bian," ujar Manda.

"Sejujurnya sih, kami pun merasa begitu. Istrinya Pak Roni itu seakan pernah ... melewati hal yang buruk seperti yang sedang kamu dan Kak Tika hadapi," sahut Jojo, ikut memberikan penilaiannya tentang Roni dan Istrinya.

Manda pun berbalik dan menatap Jojo yang duduk di kursi paling belakang bersama Aris dan Zian.

"Nah ... itu yang aku maksud! Aku juga langsung kepikiran ke sana saat mendengar penjelasan dari Pak Roni mengenai keputusan yang diambilnya. Andai bukan karena permintaan Istrinya, maka Pak Roni mungkin masih mempertimbangkan permohonan dari salah satu rekan kerjaku di kantor lama. Tapi karena Istrinya sendiri yang meminta, maka Pak Roni langsung mengambil keputusan untuk menerima Kak Tika dan aku agar bisa tercatat telah bekerja di kantor Polda Garut sejak beberapa bulan lalu. Sekarang aku jadi penasaran dengan sosok Istrinya Pak Roni. Aku mau ketemu dia," ungkap Manda.

Tika menutup kedua matanya selama beberapa saat, sambil menahan denyutan yang terus terasa di kepalanya. Zian mengusap lembut puncak kepala Tika dari arah belakang, membuat Tika merasa tenang dan jauh lebih santai.

"Yv," panggil Tika.

"Iya, Kak?" sahut Yvanna dengan cepat dan melirik pada kaca spion untuk melihat Tika.

"Bisa pulang dulu ke menara? Kepalaku pusing sekali," pinta Tika.

Lili langsung bangkit dan menggeser Manda dari tempat duduknya dengan paksa. Ia memeriksa suhu tubuh Tika dengan cepat dan juga memeriksa tekanan darahnya dengan alat yang biasa ia bawa.

"Kakak sepertinya terlalu kelelahan. Tekanan darah Kakak rendah sekali. Sebaiknya kita memang pulang dulu ke menara, agar Kakak bisa istirahat dan memulihkan keadaan," ujar Lili.

Tika tersenyum sinis sesaat.

"Entah keadaanku akan pulih atau tidak, Li. Aku tidak yakin," lirihnya.

Zian meremas kedua bahu Tika dengan lembut usai mendengar apa yang wanita itu katakan.

"Jangan pesimis, Tika. Tolong jangan pesimis dengan hidupmu sendiri. Setidaknya, kamu harus tetap memiliki harapan untuk dirimu saat ini," ujar Zian.

Tika tidak menanggapi apa yang Zian katakan dan hanya tetap menutup kedua matanya seperti tadi. Keadaan antara Zian dan Tika memang sedang sangat sulit. Tidak ada yang bisa menyarankan sesuatu untuk mereka pada saat itu, karena keputusan jelas ada di tangan mereka masing-masing. Posisi mereka benar-benar serba salah jika dilihat dari sisi mana pun. Jika Tika mundur, maka Zian yang akan maju. Namun jika Zian yang mundur, Tika jelas tidak lagi punya harapan untuk bertahan.

Sejujurnya semua orang sangat gemas dengan hubungan antara Zian dan Tika yang tidak pernah menampakkan satu kejelasan. Namun yang paling merasa gemas dengan tingkah kedua manusia itu adalah Manda. Manda jelas sangat ingin mendengar hasil akhir yang terbaik, bukan sekedar harapan-harapan palsu seperti yang sedang dilihatnya saat ini. Ia benar-benar kesal dengan hal yang tidak jelas dan ia tidak pernah bisa menyembunyikan rasa kesalnya di hadapan banyak orang.

Mobil yang Yvanna kemudikan kini memasuki halaman menara milik Keluarga Harmoko. Mobil milik Tio dan Reza tampak sudah terparkir di halaman menara. Seluruh anggota Keluarga Harmoko tampaknya sudah tiba lebih awal dan siang itu urusan akan menjadi lebih panjang karena banyaknya pertanyaan yang harus dijawab. Silvia membukakan pintu ketika mendengar bel berbunyi. Semua yang datang disambut dengan hangat seperti biasanya, namun Tika memilih langsung naik ke lantai atas menuju ke kamarnya.

Manda masih menatap punggung Tika yang saat itu sedang menaiki anak tangga. Jojo ada di sampingnya dan tahu betul bahwa Manda sedang merasa kesal terhadap Tika yang sedang kacau. Namun ia tetap berharap Manda bisa menahan rasa kesalnya kali itu, demi tetap menjaga kedamaian di dalam menara milik Keluarga Harmoko.

"Oke, Kak Tika! Aku akan memenuhi apa pun yang Kakak mau hari ini juga!" teriak Manda secara tiba-tiba.

Tika--yang baru saja tiba di puncak anak tangga di lantai dua--langsung menoleh ke lantai bawah ketika mendengar suara Manda yang begitu lantang. Pram menatap dengan tenang dari sofa ruang tengah, sementara Larasati langsung keluar dari dapur bersama Naya dan Narendra keluar dari kamar yang pintunya tidak tertutup sejak tadi.

"Sekarang sebaiknya Kakak segera berhenti menekuk wajah terus-menerus seperti itu! Berhenti juga bicara sinis terhadap semua orang! Di sini ... pada saat ini ... yang terancam mati akibat ulahnya Biantoro itu bukan Kakak, tapi aku! Jadi tolong berhenti bersikap seakan Kakak akan segera mati! Aku muak melihat Kakak yang terus saja berputus asa begini! Aku ingin melihat sosok Kakakku yang biasanya berapi-api jika sedang bicara dan hobi menceramahi semua Adik-adiknya tanpa terkecuali! Aku butuh melihat hal itu saat ini untuk meyakinkan diri bahwa semua akan tetap baik-baik saja!"

Larasati segera berusaha menarik Manda agar menjauh dari tangga.

"Sudah, Manda! Sudah, cukup! Biarkan Kakakmu menenangkan dirinya terlebih dulu!" paksa Larasati.

"Tidak, Bu," tolak Manda. "Aku tidak mau berhenti. Pokoknya aku benar-benar akan memenuhi apa pun yang Kak Tika mau hari ini, tapi dia harus berjanji untuk berhenti bertingkah seakan dirinya akan segera mati."

PLAKKK!!!

Larasati mendaratkan tamparan yang sangat keras ke wajah Manda tepat di hadapan Jojo. Semua orang menahan nafasnya di tempat masing-masing, hanya Tika dan Yvanna yang berlari menuju ke arah Manda untuk dijauhkan dari Larasati.

"Ibu ... kenapa Manda harus ditampar, Bu?" Tika menyembunyikan Manda di balik punggungnya bersama Yvanna yang sedang memeriksa wajah Manda.

"Karena dia terus saja bersikap kurang ajar terhadap kamu! Dia memang harus menerima pelajaran sekali-sekali dan kamu tidak perlu membelanya!" jawab Larasati.

"Tapi apa yang Manda katakan semuanya benar, Bu. Aku memang merasa ingin mati saat ini. Dan kalau barusan aku tidak mendengar suara Manda yang bicara dengan lantang kepadaku, maka aku sudah akan menyayat nadiku ketika tiba di kamar," tutur Tika sambil memperlihatkan kepada Larasati sebuah cutter yang sejak tadi ia sembunyikan di balik jaketnya.

Manda pun memeluk Tika dari belakang dan menangis pelan di punggung Kakaknya tersebut. Larasati kini diliputi perasaan bersalah yang begitu besar terhadap Manda maupun Tika.

* * *

TUMBAL UMURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang