iv. let someone know

181 8 0
                                    

Kedua retina Zania tampak memfokuskan lensanya pada layar laptop di depan. Sementara itu, kedua tangannya lihai menekan tuts-tuts keyboard. Merangkai kata membentuk sebuah aksara sampai beberapa puluh menit kemudian, lembar microsoft word itu penuh dengan seribu lebih kata. Perempuan tersebut tersenyum puas sebelum meregangkan otot-otot jarinya yang mulai terasa kebas.

Satu chapter untuk salah satu novelnya yang sedang on going diselesaikan kurang lebih satu jam. Zania tinggal membaca ulang seraya memperbaiki typo yang ada sebelum mem-publish-nya. Sebuah kegiatan yang sudah dilakoninya semenjak SMA, yaitu meng-upload cerita yang dibuatnya di salah satu platform reading-writing yang sampai hari ini masih menunjukkan eksistensinya.

Zania meraih gelas matcha latte-nya yang kini tinggal setengah. Menyeruput minuman berwarna hijau muda itu seraya mengitari suasana Titik Teduh di siang itu. Ada beberapa pengunjung di sana, yang juga sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

Sepulang dari kampus tadi untuk urusan mengambil surat pengesahan draftnya, Zania langsung melipir ke Titik Teduh. Meminta Arsa membuatkannya matcha latte untuk menemaninya menulis siang itu. Keberadaan Putra tampak absen. Kata Arsa tadi, adiknya itu tengah keluar sebentar bersama Brisia—Baker's—di Titik Teduh.

Zania menutup laptopnya setelah meng-shut down benda itu. Memasukkannya ke dalam totebag berikut sebuah buku tulis berukuran A5 yang sempat dikeluarkannya tadi. Perempuan itu beranjak dan membawa gelasnya yang sudah kosong.

"Mau balik, Kak?" Arsa bertanya ketika melihat presensi Zania tengah melewati area bar, melangkah memasuki dapur.

"Iya. Mau tidur."

Tidak didapatinya lagi tanggapan Arsa. Gelas kosong itu Zania simpan di wastafel dan mencucinya. Setelah pekerjaan itu beres, dia melenggang pergi dari sana. Sempat pamit pada Arsa, Radita dan Rian di sana. Jumlah pegawai di Titik Teduh memang tidaklah banyak. Hanya ada empat orang yang direkrut Putra. Jika sedang ramai, biasanya adiknya itu meminta tolong padanya.

Zania menghirup udara siang hari itu setelah berhasil melewati pintu kaca Titik Teduh. Perutnya berbunyi singkat, menandakan dia tengah kelaparan. Zania juga baru sadar dirinya belum makan apa-apa sedari pagi tadi. Tidak ada alasan khusus, Zania sedang malas makan saja. Dan kini, dia harus mencari makan terlebih dulu untuk menambah tenaga. Meski rasanya kasur di rumah lebih menggoda untuk dihampiri.

Sempat berpikir ingin makan di rumah saja, tetapi Zania mengurungkannya. Dia sedang ingin makan siang dengan fast food. Baru saja perempuan itu berniat menyeberangi jalan menuju sebuah restoran fast food yang persis berhadapan dengan Titik Teduh, panggilan dari arah samping mengurungkannya.

Mata Zania menyipit sejenak, dan refleks mendengkus pelan mendapati sosok Aksa yang kini menghampirinya.

"Hari Senin gini lo juga keluyuran, Sa?" tembak Zania sarkastik. Yang malah mendapat kekehan singkat dari pemuda yang hari ini mengenakan baju kaos hitam yang dilapisi jaket denim itu.

"Masih pengangguran."

"Belum dapet panggilan, ya?" tanya Zania hati-hati.

Aksa tampak tersenyum misterius, sebelum berujar, "Makanya itu gue ke sini. Mau ngabarin kalau mulai lusa gue udah kerja."

_____


"Jadi lo dapet kerja jadi Assistant Chemist di perusahaan cat gitu?"

Kola dingin terlebih dulu diteguk Aksa sebelum kemudian dia mengangguk. "Baru aja kemarin dapet info kalau lolos."

"Waaah, daebak!"

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang