Jika biasanya Aksa yang harus menghubungi terlebih dahulu agar mereka bertemu, hari ini adalah kebalikannya. Saat terbangun di Minggu cerah, Aksa menemukan satu notifikasi datang dari Zania. Ajakan pertemuan di salah satu kafe yang berada di dekat apartemennya. Dan hal tersebut sukses membuat pemuda tersebut meraih kesadaran sepenuhnya. Dia heran, bingung, dan tanpa bisa dicegah, ada perasaan was-was yang datang menghampiri.
Zania jauh-jauh ke Jakarta bagian utara hanya untuk menemuinya? Menurut Aksa, ini janggal. Dan tidak seperti biasanya. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia sangat berharap bahwa pertemuan mereka hari ini akan berjalan dengan baik. Tentu saja tanpa adanya obrolan yang mengarah pada hal yang ditakuti Aksa selama ini.
Genap sudah hampir sebulan dia melancarkan aksi pendekatan pada gadis itu. Dan bukan tidak mungkin, ajakan pertemuan hari ini adalah jawaban dari Zania. Jawaban yang entah mengapa, terasa menakutkan untuk Aksa dengar. Dia merasa ... belum siap.
Namun, dia bangkit dari kasur. Meraih handuk yang tergeletak asal di sandaran kursi belajar lantas masuk ke kamar mandi. Selama melakukan aktivitas tersebut, kepala Aksa dipenuhi berbagai pertanyaan dan kemungkinan. Tentang, apa yang diinginkan Zania darinya hari ini. Tentang apakah usaha-usahanya selama ini akan berhasil? Atau bagian paling mengerikannya, tidak? Aksa tanpa sadar mengembuskan napas secara keras-keras. Dia hanya bisa berharap, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tepat pukul setengah sepuluh, Aksa sudah bersiap meninggalkan apartemen. Pemuda itu meraih kunci mobil dari meja belajar, dan enyah dari sana. Dua menit yang lalu, pesan dari Zania kembali muncul. Mengonfirmasi bahwa gadis itu sudah sampai. Untuk itulah Aksa buru-buru.
Meski letak kafe itu tidak terlalu jauh dari apartemen, tapi mengingat hari ini adalah Minggu, sudah pasti jalanan akan macet. Banyak orang yang menghabiskan libur akhir pekannya di luar. Dan mungkin Aksa juga termasuk di dalamnya.
Akhirnya setelah melawan kemacetan selama kurang lebih setengah jam—memang terdengar sialan—sebab waktu normal untuk menempuh perjalanan ke sana hanyalah sepuluh menit, mobil itu sampai di pelataran parkir. Kafe dengan nama Sudut Pandang itu terlihat sepi dari luar. Aksa mematikan mesin, lantas terlebih dahulu mengembuskan napas panjang. Persiapan, katanya. Dia segera membuka pintu mobil dan berjalan dengan percaya diri ke dalam kafe tersebut.
Saat mengitari sekeliling, ada sebuah panggilan yang langsung mengalihkan pandangnya.
"Sa, di sini!" Itu Zania. Yang entah kenapa hari ini sangat manis sekali. Aksa sempat berpikir bahwa mungkin jawaban yang akan Zania lontarkan hari ini sesuai dengan pakaian yang dikenakannya. Atau hanya harapan.
Zania dengan dress selutut bunga-bunga dengan warna dasar merah muda itu tampak tersenyum. Dia menghela Aksa untuk duduk di hadapannya.
"Gue udah pesenin mango greentea sama beef chicken teriyaki. Hasil rekomendasi pelayannya, sih. Tapi gue yakin, itu mungkin enak. Gue juga pesen minumnya yang mango greentea. Rasanya, seger dan enak."
Aksa mengerjapkan matanya beberapa kali. Zania hari ini terlihat berbeda. Berpakaian cerah, banyak tersenyum, dan ... banyak bicara. Atau hanya perasaannya saja?
"Oh, oke. Makasih, Zi. By the way, sori. Kelamaan, ya? Macet banget di luar."
Zania menggeleng singkat. "Gue maklum, kok. Ini weekend."
Lalu setelahnya tidak ada yang bersuara lagi. Untungnya, makanan datang tak lama kemudian. Jadilah dua manusia tersebut memilih untuk mengeksekusi makanan terlebih dahulu. Beberapa kali sempat diselingi dengan obrolan ringan. Dan Aksa berusaha tidak mengungkit pertanyaan kenapa Zania meminta untuk bertemu hari ini. Kemungkinan besar, gadis itu akan memberitahunya tanpa dia meminta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Our Ineffable [Completed]
Romantizm"Lo mau move on, 'kan? Ya udah, tanggepin semua yang lagi deketin lo." "Nggak mau." "Nggak mau apa?" "Move on." "ZI!" ____ Zania merasa perjalanan hidupnya tidak ada yang sesuai dengan rencana. Gagal masuk Fakultas Psikologi. Gagal mendapatkan beasi...