vi. question and assumption

137 7 0
                                    

Suasana kantin Fakultas Ilmu Pendidikan di pukul satu siang itu cukup ramai. Meja-meja penuh dan hanya menyisakan beberapa space kosong. Belum lagi suara-suara obrolan juga genjrengan gitar dari sekelompok mahasiswa yang ada di pojok, saling bersahut-sahutan. Membuat pemandangan juga vibes di sana cukup menyebalkan, di mata Zania. Perempuan itu tengah menikmati makan siangnya bersama Arin. Sesekali mendelikkan mata dan berdecak kala suara sekelompok mahasiswa di pojok sana terdengar semakin kencang.

"Udah gue bilang makannya di tempat Mas Nono aja. Ngeyel, sih," ujar Arin. Perempuan itu rasanya lelah sendiri melihat gerak-gerik Zania yang tidak nyaman.

"Jam dua gue harus ke akademik lagi, Rin. Kalau makannya di warung Mas Nono, takut telat."

"Akademik buka sampe jam empat juga, 'kan?"

Zania mengangguk sekilas seraya mengunyah bulatan baksonya. "Iya. Tapi disuruhnya jam dua udah ke sana. Takutnya pegawainya ngambek. You know-lah yah ..."

"Padahal pegawai itu digaji, 'kan? Tapi kenapa setiap ada mahasiswa yang mau ngurus sesuatu, kayak ... jutek banget." Arin mulai mengeluarkan kalimat-kalimat yang mengandung ajakan ghibah.

"Nggak tau, ah."

Arin berdecak. "Gue, ya, kalau suatu saat dikasih rezeki jadi pegawai pendidikan, entah itu jadi TU sekolah, di kampus, perpustakaan, sampe kerjanya di Dinas Pendidikan, gue mau jadi pegawai yang ramah ..." ujarnya dengan senyuman serta alis yang dinaik-turunkan. Membuat Zania menggeleng pelan. "Ya, kita tunggu Ibu Arin yang katanya akan jadi pegawai yang ramah ini di masa depan."

Menyadari ucapan Zania yang mengandung sarkas, Arin sontak mendengkus pelan. "Nggak asik, ah. Memang sudah seharusnya kerja di bagian pelayanan harus ramah, 'kan?"

"Harusnya. Tapi kita tuh belum terlalu tau gimana hectic-nya kalau jadi pegawai beneran. Pas magang dulu lo juga sempet stres, 'kan? Sampe sering tiba-tiba telepon malem-malem cuma buat ngeluh."

"Ih, tapi, 'kan, bedaaaa. Di tempat magang mah emang kitanya aja disuruh-suruh mulu."

"Emang jadi pegawai beneran, enggak? Secara nggak langsung kita tuh nyuruh lho, Rin. Dibuatin surat izin penelitian, diurusin berkas-berkas pas mau sempro, dan lain-lain."

Arin merotasikan bola matanya. "Kayaknya lo belum ngerti, ya, Zi? Ini tuh kasusnya beda."

Suara di pojokan sana semakin kencang. Kali ini sekumpulan mahasiswa itu seperti tengah berlomba-lomba siapa yang paling keras suaranya dalam menyanyikan lagu milik Hindia yang berjudul Evakuasi.

"Mereka tuh bisa diem nggak, sih?" decak Zania kesal. Bakso di mangkuknya sudah habis, perempuan itu meraih gelas es jeruknya dan meminumnya.

"Vibes-nya mereka tuh rada mirip sama anak Teknik. Suka genjreng gitar di mana aja," komentar Arin. "Padahal kita sebagai anak FIP tuh kayak ... apa, ya? Nggak etis aja kalau kelakukan calon tenaga pendidik kayak gitu."

"Kayaknya dari seprodi kita, sih, Rin. Nggak mungkin banget anak keguruan kayak gitu. Pasti bocah-bocah Administrasi lagi nih." Zania berujar, lalu melanjutkan, "dan please, hilangin statement lo tentang anak teknik yang suka genjreng gitar di mana aja."

"Di kampus kita, 'kan, kayak gitu ..." sahut Arin tidak mau kalah. Karena sudah lelah, juga makanan sudah habis, Zania mengangkat kedua tangan, tanda tak ingin memperpanjang obrolan lagi.

"Balik, yuk? Kondisinya makin kacau gini," ajak Zania kemudian, setelah mengecek jam di ponselnya. Kurang tiga puluh menit lagi, jam dua.

"Masih ada setengah jam lagi, Zi. Di sini aja, ya?" Arin rupanya tidak rela meninggalkan tempat duduknya sekarang. Perempuan itu bahkan melambat-lambatkan dirinya meminum gelas jus alpukatnya.

"Ya udah, deh, kalau lo masih mau di sini. Gue mau cabut aja."

"Eeeeh, kok gitu?"

Merasa tidak punya pilihan lagi, Arin terpaksa mengekori jejak Zania yang meninggalkan area kantin FIP setelah keduanya membayar makanan. Kini mereka tengah menyusuri jalan menuju gedung akademik yang berada di area paling depan. Area yang dekat sekali dengan pintu gerbang.

Hari ini Zania sengaja ke kampus untuk mengurus surat izin penelitiannya di akademik. Setelah sebelumnya surat pengesahan draft dan format ijin penelitian yang telah diproses di bagian fakultas, kini Zania harus ke akademik. Di sana, surat izin penelitiannya akan diproses sebelum dia beri format lagi untuk dibawa ke Dinas Pendidikan. Dan rasanya kepala Zania cukup pening mengurus persuratan beberapa hari ini.

"Zi?" Di tengah-tengah langkah kaki mereka, Arin tiba-tiba memanggil.

"Apa?"

Arin terdiam sejenak. Seperti tengah menimbang-nimbang apakah kalimatnya akan diucapkan atau tidak. Namun, sepertinya, perempuan itu memilih pilihan pertama.

"Lo ... lagi deket, ya, sama Aksa?"

"Teori ngasal dari mana itu?"

"Apa, ya? Waktu sekolah, lo tuh nggak pernah keliatan deket sama dia lho, Zi. Baru kali ini setelah dia balik ke Jakarta lagi. Kayak tiba-tiba kalian jadi deket banget dan gue yang nggak tau apa-apa ini jadi keseret masuk circle kalian."

Kening Zania mengernyit. "Circle? Wah, lo mengasumsikan gue sama Aksa sebagai circle gitu?"

"Ih, enggak. Maksudnya iya. Tapi bukan cuma kalian berdua aja. Sama Alina juga. Yaaa, gue anggep kalian bertiga tuh satu circle semenjak Aksa balik dari Bandung. Dan gue sama Rama keseret deh."

"Idih, ngaco, nih, Emak-emak satu ini. Itu bukan circle kali, Rin."

Terdengar embusan lelah Arin, sebelum perempuan itu berdeham. "Itu, 'kan, pendapat gue, Zi. Lo nggak ada hak buat membantahnya."

"Whatever."

Mendengar itu, Arin tiba-tiba memukul pundak Zania. Yang mana hal itu membuat Zania menoleh dan memprotes.

"Elo tuh lagi mengalihkan pembicaraan, ya, Zi? Takut ketahuan, 'kan, kalo emang lagi deket sama Aksa?"

"Ya ampun. Enggak. Astaga, nggak ada apa-apa, Rin. Pure temenan aja."

Arin tidak langsung percaya begitu saja. Dia menyipitkan matanya beberapa sekon, sebelum kemudian terdengar hela napas. "Padahal gue dukung lho kalo itu beneran. Yaaa, apa, ya? Mending si Aksa daripada si anak Hukum nggak jelas itu."

Zania langsung menoleh, dan tahu sekali siapa si anak Hukum yang dimaksud Arin. Namun, dia memilih tidak berkomentar apa-apa. Tahu, kalau sudah melibatkan si anak Hukum itu, ocehan Arin tidak akan sebentar.

Diam-diam Zania juga tertawa geli. Asumsi Arin mengenai kedekatannya dengan Aksa cukup kocak di telinganya. Tidak pernah terpikirkan hubungannya dengan Aksa dinilai seperti itu. Padahal, berkali-kali Zania pernah bilang ke Arin, juga Alina, bahwa teman sekelas, mau itu dari jaman SMP, SMA bahkan sampai kuliah, semua dianggap saudara. Zania tidak ingin menjalin hubungan yang mengarah ke love-dovey dengan yang dianggapnya saudara itu.

Namun, di tengah-tengah pemikirannya, bunyi getar ponselnya dari saku rok mengalihkan atensi. Zania langsung memeriksa ponselnya dan seketika itu juga, pertanyaan dan asumsi Arin beberapa detik lalu menggema di kepalanya.

Aksa Bumantara
Zi?
Nanti malem sibuk nggak?
Mau gue ajakin ke galeri. Itu pun kalo lagi nggak sibuk dan diizinin sih :D
Btw cuma kita berdua.
Alina nggak ikut.


_____


A/n:

Hai, hello
Rada pendek wkwk, but tidak papa. Terima kasih sudah mampir <3

Best regard,

Susiayuningsi 💗💌

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang