xxii. anxiously

72 2 0
                                    

Pukul sebelas siang tepat, Zania keluar dari ruang dosen setelah hampir setengah jam, bimbingan di dalamnya. Perempuan itu duduk sejenak di kursi depan ruang dosen seraya memasang sepatu. Lantas meringis ketika mendapati ada coretan di sampul depan skripsinya.

Yeah, revisi again.

Meskipun ini pertama kalinya Zania datang untuk bimbingan skripsi hasil penelitian, tetap saja mendapat revisi, membuat kepalanya berdenyut. Ini baru di pembimbing kedua. Apa kabar nanti di pembimbing pertama yang untuk ditemui saja susahnya minta ampun.

Selesai memasang sepatu, Zania segera meninggalkan tempat. Dia butuh sesuatu yang bisa menenangkan riuh di kepalanya. Mungkin ke Sweetest? Namun, dia menggeleng kemudian. Beberapa hari ini Zania sudah sering sekali ke sana. Dia tidak takut sakit karena kebanyakan mengonsumsi es. Tapi mungkin untuk sekarang segelas matcha latte lebih dibutuhkannya.

Maka, setelah keluar dari gedung FIP, Zania berniat memesan ojek online sebab hari ini sedang tidak membawa kendaraan. Baru saja mengeluarkan ponsel dari sling bag yang dipakai, seruan tertahan dari arah belakang.

"Zizi!"

Hanya ada segelintir orang yang memanggilnya dengan nama tersebut. Yakni, orang-orang terdekatnya. Jadi Zania tidak perlu menoleh lagi untuk memastikan siapa si pemilik suara tersebut.

"Lo abis dari mana?"

Arin dengan celana kulot dipadukan kemeja merah muda itu bertanya. Di tangan kirinya ada totebag kanvas yang Zania bisa tebak adalah sekumpulan revisi draft proposal yang sampai sekarang belum ACC.

"Bimbingan."

Bola mata Arin tampak membulat. "Oemji! Lo udah bimbingan hasil, ya?"

Zania tersenyum kecil, dan mengangguk. Arin tiba-tiba berdecak dan tidak repot-repot menutupi raut wajah yang dengan jelas menggambarkan keirian.

"Draft gue aja belom ACC, dan lo udah bimbingan hasil? Wah, dunia nggak adil."

Tertawa kecil yang hanya menjadi tanggapan Zania. "Emang lo abis bimbingan juga?" tanyanya kemudian.

"Iya. Dan tau nggak hasilnya apa?"

Zania menggeleng.

"Disuruh revisi lagi! Dan objeknya masih sama. Di bagian instrumen penelitian dan gue nggak ngerti. Udah capek. Gue udah ngikutin semua omongan dosbim gue tapi kek ... ya udahlah, ya. Gue mulai pusing kalau inget itu lagi."

"Sabar, ya, Ririnku. Semoga cepat ACC."

"Ucapan lo nggak membantu, Zi."

"Mungkin mi ayam Mas Nono bisa membantu?"

Raut wajah Arin berubah cerah, tapi di detik sekian kembali melemas. "Enggak bisa."

"Nggak bisa apa?"

"Ke sana."

Kening Zania mengernyit. Dia hendak bertanya lagi tetapi seseorang tiba-tiba datang seraya menyeruduk di tengah-tengah keduanya. Itu Alina. Dengan raut wajah santai seperti perlakuannya barusan tidak memengaruhi apapun.

"Ih, Alina! Jangan main sosor-sosor aja, dong. Gue tuh lagi dating sama Zizi," protes Arin dengan bibir dikerucutkan.

"Lho? Gue tuh sengaja kali. Zizi ini pacar gue juga. Masa lo mau klaim dia sendirian? No way, ya!"

"Excume me? Pacar? Sejak kapan? Bukannya pacar lo cuma the one and the only Alfa Derianto?"

"Yang itu beda lagi, Rin. Daripada lo udah punya suami, masih ngejar-ngejar Zizi. Ya mbok malu dikitlah."

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang