Ruangan yang hanya berisi dua ranjang, dan kini ditempati Alina seorang, tampak hening. Arin yang duduk di samping ranjang sahabatnya hanya tertunduk lesu setelah menghubungi Zania beberapa menit yang lalu. Sedangkan Alina tidak tahu harus berbicara apa lagi. Semuanya terlalu tiba-tiba. Perutnya sakit. Namun, lebih daripada itu, hatinya jauh lebih sakit. Dia membunuh janinnya. Seharusnya tidak begini.
"Gue nggak pernah menginginkan bayi itu." Alina mulai memecahkan hening. Hal itu membuat Arin mendongak, dan memfokuskan atensinya pada perempuan berbibir pucat itu.
"Nggak pernah, Rin. Awalnya gue selalu nyari cara supaya dia lenyap. Gue nggak sebodoh itu untuk hancurin masa depan gue. Tapi ... semakin ke sini, semakin gue mikirin semuanya, janin itu ... nggak salah apa-apa." Alina kembali menangis. Arin mendekat dan mendekap sahabatnya. Ikut tergugu bersama.
"Gue jahat banget. Gue udah bunuh dia."
"Nggak. Lo nggak salah apapun, Na. Lo udah berusaha semampunya." Rasanya sakit sekali tatkala Arin mengucapkan kalimat tersebut.
"Gue nggak mau Papa sama Mama tau."
Alina anak tunggal. Dan perempuan itu pernah bercerita bahwa orangtuanya sangat mengandalkannya. Mereka ingin Alina, si anak semata wayang, berhasil dalam mencapai segala mimpinya. Berhasil di jalan karirnya. Arin tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orangtua Alina jika mengetahui kondisi puteri mereka satu-satunya.
"Jangan ... kasih tau mereka, ya, Rin?" bisik Alina pelan, penuh permohonan. Yang bisa dilakukan Arin saat ini adalah mengangguk.
Lama keduanya dalam posisi saling memeluk. Mengirim sinyal kekuatan untuk saling menopang. Sebelum kemudian pintu terbuka dengan tidak sabaran. Itu Zania. Dan Arin sudah bisa merasakan tubuhnya berubah menjadi dingin.
"Alfa ada di luar." Menjadi kata pertama yang dilontarkan Zania. Alina tampak terkejut.
"Tenang aja. Dia nggak bakalan masuk, gue udah ngelarang dengan keras. Dan please ... jangan ada asumsi kalau gue yang nyeret dia ke sini. Dia mau yang maksa untuk ikut."
Penjelasan itu cukup membuat Alina menghela napas lega. Entahlah, setelah semua yang terjadi antara dirinya dengan Alfa, dia merasa malu untuk berhadapan dengan pemuda itu. Alina tidak siap.
"Jadi ... hal urgent apa yang terjadi sampe gue harus cepet-cepet ke sini?" tanya Zania. Tadi saat aksi pelabrakannya pada Alfa, Arin memang menghubunginya. Dan menyuruh dia cepat datang. Pada awalnya Zania sudah mengira ada yang terjadi pada Alina, tapi Arin menjelaskan bahwa sahabat mereka sudah sadar. Hanya ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting.
"Ngomong-ngomong, Na ... gimana keadaan lo? Pasti sakit banget, ya? Temen nyokap ada yang pernah keguguran dan dia cerita kalau rasanya sakit banget. Hampir kayak ngelahirin. Tapi sakitnya dobel karena ditambah harus kehilangan bayinya."
Alina meneguk ludah. "Tadi sakit banget. Tapi sekarang ... i will be okay."
"Gue nggak akan pernah maafin Alfa, Na."
Alina menggeleng pelan, lantas mengirim sebuah senyum sedih.
"Bukan dia orangnya."
Zania mengernyitkan keningnya sejenak, lantas bertanya, "maksudnya?"
"Bukan Alfa orangnya, Zi. Selama kita pacaran, satu kali pun ... dia nggak pernah nyentuh gue."
"Lo mabok, ya? Jelas-jelas lo cuma pacaran sama dia—"
"Gue ngelakuinnya sama Aksa, Zi."
Zania mematung. Tubuhnya berubah dingin. Dingin sekali.
Isak tangis Alina kembali menggema. Kali ini terdengar menyayat hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Our Ineffable [Completed]
Romance"Lo mau move on, 'kan? Ya udah, tanggepin semua yang lagi deketin lo." "Nggak mau." "Nggak mau apa?" "Move on." "ZI!" ____ Zania merasa perjalanan hidupnya tidak ada yang sesuai dengan rencana. Gagal masuk Fakultas Psikologi. Gagal mendapatkan beasi...