Zania sedang mencoba kebaya yang akan dipakainya wisuda nanti saat pintu kamarnya diketuk. Perempuan itu refleks menoleh dan segera berlari untuk membukanya. Di luar sana terdengar suara Ibu.
"Kenapa, Bu?" tanya Zania langsung saat dia sudah berdiri di depan Ibu.
Ibu tampak menampilkan raut wajah aneh, dan sesaat meneliti penampilan Zania sekarang. Dengan kebaya berwarna ungu muda serta rok batik dengan warna senada, anak gadisnya itu terlihat anggun. Jarang sekali dia bisa melihat Zania berpakaian seperti ini.
"Di bawah ada tamu."
Kening Zania mengernyit. "Hubungannya sama aku apa?"
"Dia nyari kamu, Mbak."
Ibu tampak menghela napas kemudian. "Dia adiknya Mbak Sabrina yang tinggal di blok sebelah."
Sesaat Ibu mengucapkan kalimat itu, tubuh Zania mematung sejenak. Dia mengerjap-ngerjap dan menggeleng kemudian. Tidak mungkin! Di bawah sana tidak mungkin Auriga yang datang, 'kan?
"Dia datengnya kapan, Bu? Kok aku nggak denger suara kendaraan apapun tadi."
"Sekitar sepuluh menit yang lalu? Mungkin nggak kedengeran karena dia markir motornya di luar halaman. Dan lagian Mbak, 'kan, lagi sibuk nyoba kebaya."
Masuk akal. Tapi keberadaan Auriga di rumahnya sekarang, itu yang tidak masuk akal!
"Temuin, gih. Kayaknya mau ngobrol penting," ujar Ibu dengan senyum tipis serta raut wajah yang menenangkan. Wanita itu tahu bahwa Zania sedang enggan menghadapi pemuda yang duduk di ruang tamu sekarang. Tapi dia harus bisa membuat Zania segera menyelesaikan apa yang seharusnya selesai.
"Aku ganti baju dulu kalau gitu," putus Zania segera. Dengan gerakan lesu, dia kembali menutup pintu dan bersandar di sana beberapa menit. Sibuk menenangkan detak jantungnya yang berdetak hebat. Sekujur tubuh perempuan tersebut kembali bergetar. Dan tanpa bisa dicegah, Zania sudah memproyeksikan kepalanya dengan hal-hal yang negatif.
Mengapa Auriga ke rumahnya? Mau apa lagi dia? Mau memutuskan hubungan mereka untuk selamanya kah?
Zania menggeleng. Sadar bahwa dia tidak akan mendapat jawaban jika hanya berdiri dan berasumsi seperti ini, dia segera membuka kebaya serta rok yang dicobanya tadi. Menggantinya kembali dengan pakaian yang dirinya kenakan tadi.
Setelah baju terusan selutut berwarna navy itu terpasang di badan, Zania memperbaiki tatanan rambutnya terlebih dahulu. Bahkan dia tidak sadar meraih liptint dan mengolesnya di bibir. Terakhir, dia menyemprotkan parfum beraroma bayi ke sekitar leher dan tangannya. Detik setelah semuanya beres, Zania mengembuskan napas kasarnya.
Bahkan, setelah semua yang pernah Auriga lakukan padanya, Zania masih se-excited ini untuk bertemu dengan pemuda itu. Semuanya sudah amat jelas. Bahwa untuk lepas dari pemuda itu, tidak semudah yang dibayangkan.
Zania menuruni anak tangga dengan hati yang gamang. Apalagi saat dia melihat sosok Auriga benar-benar ada di ruang tamu. Rasanya, Zania tidak tahu harus apa. Lama tidak bertemu maupun berkomunikasi lewat ponsel, pesona pemuda itu masih mampu membuatnya terpukau.
Auriga tengah duduk di sofa single yang di hadapannya ada Ibu yang tengah mengajaknya berbicara. Penampilan pemuda itu amat sederhana. Hanya mengenakan kaos putih yang sekilas bisa Zania lihat ada logo BUMN di sana. Ada jaket hitam yang tersampir di samping pemuda itu.
"Nah, Zanianya udah dateng. Saya tinggal ke belakang dulu, ya. Kalian bisa ngobrol dengan leluasa." Suara Ibu menyadarkan Zania. Terlihat wanita itu bangkit dan ingkah dari ruang tamu. Saat melewati Zania, Ibu sempat menepuk bahu anak perempuan satu-satunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Our Ineffable [Completed]
عاطفية"Lo mau move on, 'kan? Ya udah, tanggepin semua yang lagi deketin lo." "Nggak mau." "Nggak mau apa?" "Move on." "ZI!" ____ Zania merasa perjalanan hidupnya tidak ada yang sesuai dengan rencana. Gagal masuk Fakultas Psikologi. Gagal mendapatkan beasi...