xxviii. so cringe, so cute

60 3 0
                                    

Aksa benar-benar membuktikan ucapannya mengenai akan memperjuangkan Zania. Beberapa hari terakhir ini, pemuda itu rutin mengirim pesan pada Zania. Di saat weekend, selalu menyempatkan waktunya untuk menemui gadis itu. Dan perlakuan-perlakuan lainnya yang dianggap masuk kategori perhatian.

Seperti hari ini, Zania tidak kaget lagi ketika menemukan sosok Aksa tengah berdiri seraya melambai di depan sana. Dia baru saja selesai bimbingan dan menemukan Aksa ada di parkiran depan gedung rektorat.

"Lo sogok Arin pake apa, sih?" Menjadi tanya pertama yang dilontarkan Zania pada pemuda itu. Bukan tanpa sebab, Zania bahkan tidak mengabari apa-apa pada Aksa. Hanya Arin yang tahu hari ini, di jam sekian dan gedung mana dirinya akan bimbingan. Dan sudah pasti, info tersebut Aksa dapat dari Arin.

Aksa mengulas senyum jemawa. "Nasi padang."

Yang sontak mendapat dengkusan dari Zania. "Dasar," gumamnya kemudian.

"Mau makan dulu, nggak?"

Zania melirik arloji di pergelangan kirinya. Sudah jam 17.30, kalau dia mengiakan ajakan tersebut, sudah pasti Zania akan sampai di rumah ketika langit sudah menggelap.

"Gue masih kenyang," jawab Zania akhirnya.

"Oh, oke. Jadi langsung gue anterin pulang aja?"

Berpikir sebentar, Zania tampak menyipitkan mata. Sebetulnya, beberapa hari terakhir ini, dirinya sedang bimbang. Melihat usaha Aksa untuk mendekati dan dihujani perhatian, membuat Zania tidak bisa menampik bahwa dirinya sedikit terbawa perasaan. Meski memang tidak lantas membuat dia menyematkan itu adalah perasaan yang berbalas.

Ada ketakutan bahwa segala usaha Aksa selama ini hanya akan membawanya pada kekecewaan yang lain. Jadi sebisa mungkin Zania meminimalisir perasaan-perasaan cheesy yang kerap kali mengambil alih. Hebatnya, di tengah usaha Aksa menggaet hatinya, presensi Auriga tampak absen.

Pemuda itu belum menghubunginya lagi. Dan diam-diam Zania kesal sendiri. Sering membanding-bandingkan Auriga dan Aksa.

"Zi?" panggil Aksa kemudian, yang membuyarkan lamunan Zania.

"Mau ... mampir ke toko buku dulu. Boleh, nggak?"

"Boleh, dong."

Maka lepas itu, keduanya beriringan masuk ke mobil milik Aksa. Dan beberapa menit kemudian, setelah melawan kemacetan di beberapa titik, sampailah mereka di parkiran salah satu toko buku. Bangunan dengan dua lantai itu cukup ramai hari ini.

"Mau nyari buku apa memang?" Aksa bertanya ketika keduanya baru saja melewati pintu masuk. Zania sempat tertegun sebentar tatkala Aksa gesit membuka pintu terlebih dulu dan menahannya, membiarkan Zania lewat tanpa menyentuh gagang pintu kaca tersebut.

"Nggak ada plan, sih. Cuma mau liat-liat aja."

"Oke."

Aksa tidak bisa menutupi senyumnya kala melihat binar di mata Zania tampak berpendar. Selalu begitu jika gadis di sampingnya ini melihat tumpukan buku. Hal-hal yang menurut kebanyakan orang adalah pemandangan membosankan, justru mampu membuat kedua mata jernih itu berbinar cerah.

Mungkin ada sekitar tiga puluh menit, keduanya mengitari toko buku. Sampai ketika Zania tampak mengangkat sebuah buku yang sampulnya berwarna putih.

"Psychology of Money. Buku ... non-fiksi, 'kan?" Aksa bertanya, yang kemudian diangguki Zania.

"Gue kira lo cuma suka baca buku novel lho."

Mendengar itu, Zania terkekeh. "Gue nggak bisa nyalahin pendapat itu, sih. Waktu sekolah, bacaan gue di kelas cuma novel."

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang