xli. painfull not endure

83 3 0
                                    

Aksa telah selesai mengemasi barang-barangnya. Ruang kamar apartemen yang sempat dia tinggali, kini sudah kosong. Hanya tersisa barang-barang yang memang dari awal ada di sana, serta beberapa yang tidak berniat dia bawa pergi. Besok, dia akan kembali ke Bandung. Memang tidak langsung masuk kuliah seperti rencana yang Aksa beberkan pada orang-orang di sekitarnya.

Di sana, Aksa akan pelan-pelan memulai dari awal. Mengurus banyak hal agar pikirannya sibuk dan melupakan segala yang mengganggu pikiran selama dia ada di Jakarta. Dia juga telah memberitahu teman-teman dekatnya. Rama, Arjuna, Iris, Arin, Alina dan tentu saja Zania. Namun tidak ada yang bisa menemaninya untuk packing. Aksa memaklumi, mereka pasti sedang sibuk sekali.

Tapi, ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikiran pemuda itu. Entah apa. Seolah-olah ada hal yang tengah menghimpit dadanya dan dia tengah menunggu sesuatu itu muncul. Setidaknya sebelum dia berangkat ke Bandung. Lebih daripada itu, sikap Arin, Alina dan Zania padanya juga sedikit berubah. Atau ini hanya perasaan Aksa saja?

Meski ketiga perempuan itu merespon pesannya perihal berberes hari ini, tapi hanya sebatas itu. Ajakan Aksa untuk makan siang, atau sekadar nongkrong di Titik Teduh, atau menghabiskan waktu di Heavens Cafe—seperti awal-awal kedatangannya di sini—tidak mendapat respon. Salah satu ini yang mengganggu pikiran Aksa. Berpikir bahwa mungkin ketiganya kompak menjaga jarak darinya setelah hubungannya dengan Zania gagal total.

Tapi meski itu alasannya, seharusnya tidak seperti ini, 'kan? Zania sendiri yang bilang bahwa dia bersyukur karena Aksa bersikap seperti biasa. Tidak sedang berusaha menjauh lagi. Jadi, hal apa yang membuat tiga perempuan itu menjauh dan terkesan menghindar darinya seperti ini?

Sedang sibuk berkutat dengan pikiran, getar ponsel menarik perhatian pemuda itu. Benda yang awalnya tergeletak asal di atas ranjang langsung diraih Aksa. Kening pemuda itu otomatis mengernyit ketika menemukan satu notifikasi dengan nama Zania terpampang di sana. Seiring itu, ada sebuah senyum tipis tertarik di kedua sudut bibirnya.

Mungkin, pertemuan keduanya kali ini, akan menjawab rasa penasaran Aksa.

Zania Aluna
Bisa ketemu nggak, Sa?
Deket apart lo aja. Di Kiro Cafe.

___________

Kafe yang berornamen hampir putih itu terletak tidak jauh dari apartemen Aksa. Bukan kafe yang pernah keduanya datangi juga. Aksa baru pertama kali ke sana. Kini keduanya tengah duduk berhadap-hadapan sambil menunggu pesanan.

Aksa datang lebih dulu, kemudian Zania menyusul lima menit kemudian. Setelah memesan menu masing-masing, keduanya seolah kompak untuk hening sebentar. Tengah menikmati suasana kafe yang sayup-sayup memutar lagu John Mayer.

Tepat ketika pesanan keduanya datang, Zania mulai membuka suara.

"Gimana packing-nya?" Zania bertanya seraya mengaduk-aduk ice matcha latte berukuran large di depannya.

"Udah beres, kok."

"Besok berangkat jam berapa?"

"Pagi. Sekitar jam sembilan?"

Zania mengangguk paham, seraya mulai menyeruput minumnya.

"Bukannya hari ini lo sibuk, ya, Zi?"

Kening Zania mengernyit.

"Tadi katanya lo ada ke kampus mau daftar buat wisuda."

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang