Apartemen yang akan ditinggali Aksa sampai waktu yang tidak ditentukan, tidaklah terlalu luas. Tempat itu berada di lantai 33 dengan nomor kamar 444. Nomor kamar yang semula membuat teman-teman Aksa heboh, merasa nomor tersebut terlampau cantik. Juga terlalu mudah.
Meski tidak terlalu luas, tetapi apartemen tersebut terlihat nyaman. Terdiri dari dua kamar dengan satu kamar mandi. Ada ruang tengah, yang juga bertransformasi sebagai tempat menerima tamu yang desainnya amat minimalis. Dapurnya juga tak terlalu luas. Namun terlihat nyaman dan bersih. Ada tiga buah kursi berdesain stool di belakang meja bar. Tempat itu juga sama-sama bertransformasi sebagai meja makan.
Zania diam-diam kagum dengan tempat baru Aksa ini. Sedari tadi tidak bisa menutupi matanya yang berbinar-binar seraya menyusuri setiap ruang. Perempuan itu kini tengah mengeluarkan beberapa buku yang dibawa Aksa dari rumah di sebuah kardus, dibantu Arin. Alina sendiri sibuk mengarahkan Rama dan Aksa yang sedang memasang gorden di jendela ruang tengah.
Mata Zania berbinar cerah ketika tangannya menemukan sebuah buku tebal berwarna biru tua. Di bagian sampul, terdapat logo SMA-nya juga tahun dimana kelulusan mereka.
"Eh, buku tahunan kita, ya?" Arin ternyata ikut melihat dan menjadi mendekatkan tubuhnya ke samping Zania.
Buku itu dibuka Zania dan sontak keduanya refleks tertawa kecil ketika melihat foto-foto formal satu kelas mereka di year book.
"Nggak tau mau jadi apa, tapi kayaknya power rangers lumayan menjanjikan." Arin membaca motto milik Rama dengan saksama, sebelum dia tertawa, diikuti Zania.
"Anjrit, sekarang boro-boro jadi power rangers, jadi pemasang gorden aja nggak becus," komentar Arin lagi.
Rama yang masih bisa mendengar sontak melirik ke arah bawah. Dan seketika mendengkus ketika mendapati kedua perempuan itu tengah menekuri year book mereka.
"Woy! Gue denger, ya, Anjweng!" Rama dengan kata-kata mutiaranya memang tidak pernah hilang.
"Oh, ternyata didenger juga toh yang katanya mau jadi power rangers ini," ujar Arin lagi, masih dengan nada meledek. Alina yang tengah berdiri tak jauh dari mereka hanya terkekeh geli, juga Aksa di atas sana.
"Nanti aja kalau mau war. Lo nggak capek apa di sini mulu?" Aksa memperingati Rama, dan keduanya kembali fokus memasang gorden.
Sementara di bawah sana, Zania dan Arin kembali membaca motto anak-anak di angkatannya yang terkesan lucu dan nyeleneh. Saat tiba di foto Zania, Arin sontak mendengkus pelan.
"Bismillah, Fakultas Psikologinya UGM," baca Arin pelan, yang sontak membuat Zania membuka halaman berikutnya.
"Kok dibuka? Gue, 'kan, belum baca yang lain, Zi."
"Oh, belum, ya? Kirain udah." Dengan berat hati, Zania kembali membuka halaman sebelumnya. Di luar dugaan, Arin langsung merebut year book itu dan menutupnya, lantas menggabungkannya dengan buku-buku Aksa yang lain.
Zania diam-diam mengulum senyum. Melihat Arin yang sedang sibuk mengeluarkan buku-buku lain dan tampak tidak mempermasalahkan kejadian barusan, rasanya Zania terharu sekali.
"Zi?" panggil Arin pelan.
"Hm?"
Gerakan Arin terhenti sejenak. Gadis bermata belo itu memfokuskan atensinya pada Zania.
"Jangan terlalu dipaksain kalau emang nggak bisa. Jangan lari juga. Hadepin."
Yang membuat tubuh Zania menegang sejenak. Arin tahu. Sahabatnya itu tahu dia belum seikhlas itu untuk perkara pendidikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Our Ineffable [Completed]
Romance"Lo mau move on, 'kan? Ya udah, tanggepin semua yang lagi deketin lo." "Nggak mau." "Nggak mau apa?" "Move on." "ZI!" ____ Zania merasa perjalanan hidupnya tidak ada yang sesuai dengan rencana. Gagal masuk Fakultas Psikologi. Gagal mendapatkan beasi...