xxxiii. has changed

76 3 0
                                    

Sudah satu bulan berlalu sejak penolakan Zania mengenai pernyataan Aksa waktu itu. Bisa dibilang, semuanya kembali pada tempatnya masing-masing. Zania kembali sibuk dengan rutinitas, mengurus skripsi dan tetap senang menulis. Begitu pun dengan Aksa, yang juga tetap pada pekerjaannya.

Namun, jika dibilang tidak ada yang berubah pada hubungan keduanya, itu salah. Zania menyadari bahwa Aksa sedang perlahan-lahan menarik diri darinya. Kunjungan di akhir pekan sudah jarang terjadi. Itu pun jika mereka bertemu, akan ada Alina, Arin maupun Rama juga. Benar-benar tidak pernah bertemu hanya berdua.

Obrolan singkat di aplikasi perpesanan pun mengecil. Tidak ada basa-basi. Aksa hanya akan menghubunginya jika ada hal yang penting. Semua kejadian tersebut tidak bisa membuat Zania bertanya-tanya dan marah. Bagaimana pun juga, dia sangat mengerti posisi Aksa. Untuk itulah dia tidak berusaha melakukan hal-hal yang bisa menggoyahkan tekad pemuda itu.

Zania akan mengikuti bagaimana Aksa berperilaku. Meski jauh dalam lubuk hati, dia sangat menyayangkan ini. Mereka berdua teman. Dan tidak seharusnya saling menjauh seperti ini. Meski konteksnya pernah atau masih ada perasaan pada salah satunya yang mencuat. Namun sekali lagi, Zania tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekarang, dia hanya akan mengikuti kemauan Aksa untuk meminimkan interaksi mereka.

Satu bulan berlalu begitu cepat. Ada banyak hal yang terjadi. Buku pertama Zania akan terbit minggu depan, dan pre-order pertama juga akan dibuka. Hal yang membuatnya sangat bersemangat akhir-akhir ini. Selain itu, skripsinya juga telah mendapat persetujuan dari kedua pembimbing untuk segera ujian akhir. Maka dari itu sekarang Zania sekarang ada di ruang fakultas. Sedang mengurus berbagai persyaratan untuk mengikuti sidang.

Kali ini, dia melalukan hal tersebut dengan solo karir. Alias, tidak ada yang menemani. Sengaja sebab Zania tidak ingin merepotkan siapa pun. Ada sekitar satu jam di dalam sana, baru Zania keluar. Tangannya penuh tumpukan kertas yang sekarang sedang susah payah dia masukkan ke dalam totebag. Besok dia akan kembali ke kampus untuk mengambil jadwal ujian sekaligus menyampaikan kepada kedua penguji dan pembimbing. Jadwal ujiannya juga minggu depan. Tepat satu hari sebelum launching buku pertamanya.

Akhir-akhir ini, ada begitu banyak hal yang Zania harus syukuri. Tuhan seperti sedang mengabulkan semua doa-doanya satu persatu. Hal itu membuat Zania tidak bisa tidak tersenyum haru ketika dia berhasil keluar dari gedung. Rasa bersalah yang sempat membelenggunya pasca penolakannya pada Aksa, perlahan luruh. Semua karena hal-hal baik yang berdatangan, yang mungkin juga menyumbang energi positive untuk dirinya. Energi untuk tidak berpikiran buruk. Energi untuk mensyukuri atas apa yang telah dirinya raih selama ini.

"Zania."

Panggilan bernada ceria itu sukses membuat Zania menoleh. Dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya tatkala melihat sosok Nisa berdiri beberapa langkah di depannya. Gadis bertubuh tinggi semampai dan rambut panjang bergelombang itu tampak mendekat. Dia adalah teman yang Zania kenali sejak mahasiswa baru. Mereka sempat satu kelompok pada masa PKKMB lalu.

"Lo abis ngapain?" Gadis itu langsung bertanya setelah mereka sempat melakukan aksi peluk singkat.

"Ngurus jadwal sidang gue."

"Wuiiiih, keren. Udah mau sidang aja. Congrats, ya, Zi. Gue doain semoga sidangnya lancar, dan revisinya nggak banyak."

"Hahaha, makasih, Nisa. Semoga doanya berbalik ke lo juga."

Nisa tampak tertawa meringis. "Cukup doain semoga gue cepet acc draf proposal aja dulu, Zi."

"Aamiin. Semangat calon, Ibu guru Basing."

Mendengar itu, Nisa tidak bisa tidak tertawa. Lantas pertemuan tidak sengaja itu membawa mereka pada kantin yang terletak di antara gedung FH dan Fisipol. Kantin yang lumayan sepi dibanding kantin lainnya.

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang