xxxix. do together broken

72 2 0
                                    

Zania kenal Alina dari zaman putih biru. Zaman dimana proses kanak-kanak baru beranjak ke remaja. Sebuah fase pemberontakan dan penasaran akan banyak hal. Dan sepanjang fase tersebut dilalui, Zania sudah melihat bagaimana Alina menghadapinya. Saat dia dilarang keras untuk mencoba sebuah sesuatu bernama 'pacaran', dan juga terlalu takut untuk melanggar perintah orangtua, Zania melihat Alina melakukannya. Bukan hanya Alina saja, Arin juga. Dan teman-teman sekelasnya yang lain.

Sampai mereka beranjak pada tahap yang lebih atas. Sekolah menengah. Beberapa kali Zania melihat Alina menjalin hubungan dengan beberapa laki-laki. Semuanya punya kisahnya tersendiri. Tak jarang Alina menangis, marah, kecewa karena hal bernama pacaran tersebut.

Dan di masa kuliah, Alina bertemu Alfa. Seorang pemuda yang merantau dari kota Bogor ke Jakarta untuk menempuh pendidikan. Seorang pemuda yang jika dilihat dari luar, tampak kalem. Baik. Terkesan cuek dengan sekitarnya. Tapi sangat baik kepada Alina. Hubungan mereka bertahan sampai tiga tahun lamanya. Sampai pada akhirnya berakhir karena mungkin visi yang sudah tak sejalan. Zania sempat berpikir jika Alina akan berakhir pada Alfa. Meski pemikiran itu lenyap dengan sendirinya pasca kejadian-kejadian yang menempa akhir-akhir ini.

Alina, sahabat Zania yang paling kalem. Paling teliti di antara ketiganya. Paling santai. Melakukan segala sesuatu dengan tidak terburu-buru, bahkan ketika hal tersebut mendesak. Seolah-olah perempuan itu harus melakukannya dengan porsinya tersendiri. Dan sikap tenang itulah yang paling Zania sukai dari Alina. Sikap dan sifat yang bisa menjadi penetralisir di antara dirinya dan Arin yang apabila menghadapi suatu kejadian, keduanya akan grasak-grusuk. Panik. Heboh.

Ada suatu kejadian ketika mereka masih sekolah dulu. Tepatnya, pada saat ketiganya masih kelas 11. Arin pingsan saat ekskul cheers. Zania yang kebetulan juga sedang ada pertemuan Klub Jurnalistik di lapangan yang sama, langsung panik. Meski banyak yang menolong Arin, tetap saja Zania menghubungi Alina. Beruntung Alina juga ada di sekolah waktu itu, juga sedang ada ekskul Paduan Suara.

Zania sudah panik sendiri ketika Arin tidak bangun-bangun juga. Semakin tidak bisa mengendalikan diri tatkala Suster Ana—perawat UKS sekolahnya—bilang bahwa Arin sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit. Dan yang bisa dilakukan Zania waktu itu hanya duduk di samping ranjang Arin. Menangis. Tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi semuanya baik-baik saja. Zania merasa, semuanya akan terkendali jika ada Alina. Perempuan itulah yang menelpon kedua orangtua Arin. Membantu Suster Ana memanggil ambulance. Alina melakukan semua itu dengan tenang. Tanpa wajah panik. Tanpa grasak-grusuk heboh. Dan mulai hari itu, Zania merasa, semuanya akan baik-baik saja jika ada Alina di antara ketiganya. Semuanya akan terkendali jika ada Alina di antara mereka.

Namun, bagaimana jika si Pengendali itu yang menimbulkan kepanikan? Bagaimana cara Zania dan Arin menghadapinya?

Tubuh Zania membeku saat kalimat-kalimat yang keluar dari bibir pria ber-name tag dr. Ario Herlan itu menyapa gendang telinganya. Cukup mendengar sebaris kalimat, telinga Zania terasa berdenging hebat. Tidak mampu mendengar kalimat selanjutnya.

Di sebelahnya, Arin tidak jauh berbeda. Bahkan wajah perempuan itu sudah berkaca-kaca, dan kehabisan kata di saat bersamaan.

"Sebaiknya, orangtua atau ... mungkin, suaminya ... segera dihubungi."

Kalimat itu kembali tertangkap indera pendengaran Zania setelah beberapa saat menjadi tuli.

"Kita yang akan jadi wali Alina, Dok. Orangtuanya nggak ada di sini. Dan ... suaminya ..." Zania bersumpah, dia mendengar suara Arin bergetar ketika sampai pada kata itu. Pada kata yang entah kenapa terdengar sangat menyakitkan.

Dan seolah Dokter Ario paham, dia hanya mengangguk. Lantas beranjak dari sana, diiringi oleh beberapa perawat di belakangnya. Ada satu perawat yang tinggal sejenak. Tampak memeriksa infus Alina, dan beberapa lainnya. Zania tidak paham. Tidak ingin melihat. Dan jauh dari lubuk hatinya, dia tidak ingin ada di sini. Mendengar semuanya.

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang