xxi. turn be alloted last

64 2 0
                                    

Aksa Bumantara
Zi, gue nggak jadi jemput lo ya.

Tiba-tiba jadwal makan siangnya dimajuin dan kakek nenek gue hadir semua. Jadi semuanya harus on time.

Sori.

Pesan itu masuk sekitar satu jam yang lalu dan baru Zania baca. Sepeninggalnya Auriga dari Titik Teduh, perempuan itu baru tersadar jika orang yang seharusnya menjemputnya di pukul satu siang ini, tidak kunjung datang. Untuk itu Zania cepat-cepat memeriksa ponsel yang sedari tadi—sejak kedatangan Auriga—dia abaikan. Dan benar saja, ada pesan dari Aksa. Mengonfirmasi ketidakhadiran pemuda itu dari janji yang telah dinarasikan.

Tidak mempunyai pilihan, Zania hanya membalas berupa ungkapan tidak apa-apa dan berharap makan siang Aksa dengan keluarganya berlangsung lancar dan seperti yang diinginkan.

Zania menaruh ponsel pada saku celana kain yang dikenakan dan mengangkat cangkir bekas kopi dan piring milik Auriga tadi. Membawa kedua benda itu ke wastafel. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang lewat beberapa menit.

"Lho? Belum jalan?" Suara Putra terdengar kemudian. Presensi pemuda itu baru saja muncul dari lantai atas, lengkap dengan jaket denim yang dikenakan.

"Nggak jadi," jawab Zania enteng.

Sepersekian sekon, Putra sempat mengernyit heran. Namun karena merasa ini bukan ranahnya dan juga tidak terlalu kepo sekali, akhirnya dia mengangguk.

"Mau makan siang bareng, nggak? Gue mau keluar nih."

Zania menoleh dengan mata yang berbinar. Mendengar ajakan itu, jelas saja membuat perutnya tiba-tiba bereaksi. Dia hampir melupakan cacing-cacing di dalam sana butuh asupan sebab terlalu asik dengan obrolannya dengan Auriga.

"Tapi lo yang traktir, 'kan?"

Putra mengedikkan bahu. "Noted."

Dengan begitu keduanya keluar secara beriringan dari Titik Teduh. Dengan menaiki motor Putra, adiknya itu membawanya ke tempat makan yang tidak jauh dari Titik Teduh. Tepatnya di sebuah warung makan sederhana yang menyediakan berbagai jenis masakan nusantara.

Setelah memarkirkan motor di halaman warung makan, Putra dan Zania segera masuk ke ruangan yang bisa dikatakan cukup luas tersebut. Memesan beberapa lauk dan lalapan, serta masing-masing es teh.

"Ulang tahunnya Kael, akhir bulan ini. Lo udah mikirin bakal ngasih apa?" Menjadi tanya pertama Putra, sekaligus pembuka obrolan di antara keduanya. Zania yang tadinya sibuk memperbaiki tatanan rambut, melirik sebentar.

"Mungkin gue bakalan beliin sepatu futsal aja kayaknya. Duit gue nggak cukup buat beli yang macem-macem."

Putra mengangguk mengerti. "Konsepnya sama kayak tahun lalu, 'kan?"

"No surprise. And no party. Cuma beliin dia kue tar, terus kasih kado."

"Bapak sama ibu gimana? Mereka udah ada rencana?"

Zania berpikir sejenak, dan menggeleng. "Kita belum pernah ngomongin itu. Tapi mungkin kayak tahun sebelumnya, ibu bikin nasi tumpeng dan bapak, kasih satu permintaan buat Kael. It's simple and ... like basic a think?"

"Tapi justru yang kayak gitu, biasanya pesannya lebih nyampe."

"Iya, sih. Apalagi emang Kael anaknya nggak neko-neko dan nggak suka segala hal yang terlalu meriah. Just plain kalau kata gue, mah."

Obrolan keduanya terinterupsi sejenak. Seorang pelayan datang meletakkan piring-piring berisi lauk dan sebakul nasi putih. Berikut lalapan dan dua gelas es teh manis. Setelah mengucapkan terima kasih, pelayan tersebut berlalu.

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang