Ternyata, menulis novel di sela-sela jadwal penelitian untuk skripsinya, membuat Zania keteteran. Perempuan itu merasa waktu dua puluh empat jam tidak cukup dan mulai kesusahan memanajemen waktu. Terhitung, sudah tiga hari ini dia memulai projek menulis Halcyon yang akan diterbitkan di SunBook. Selain itu, Zania juga mulai melakukan penelitian di Gratia High School—lokasi penelitian skripsinya—yang merupakan sekolah menengah atas berbasis swasta.
Sebenarnya Zania tidak akan kesulitan mengatur waktu jika saja ide-ide untuk melanjutkan novelnya lancar. Karena waktu untuk penelitiannya dalam satu hari itu hanya berlangsung beberapa jam. Itupun hanya melakukan wawancara dengan narasumber yang siap dan penyusuran observasi, dan itu dilakukannya tidak setiap dia berkunjung ke sekolah. Pada intinya, penelitiannya tidak sesulit itu. Namun novelnya lah yang membuat Zania akhir-akhir ini sering uring-uringan.
Novel berjudul Halcyon itu dia tulis satu tahun yang lalu, terhitung dua tahun sebab sekarang sudah memasuki tahun baru. Tapi belum selesai sekarang juga. Mbak Audrey sudah meminta lanjutannya dan tidak sabar untuk mengomentari ending cerita tersebut.
Denting bel Titik Teduh berbunyi ketika Zania membuka pintu. Perempuan itu mengedarkan pandangan sejenak. Ada sekitar tujuh pengunjung kafe Putra di siang hari ini. Zania langsung duduk di salah meja dan menelungkupkan kepalanya. Map plastik berisi beberapa kertas penelitiannya dia jadikan sebagai bantal.
Zania lelah sekali. Baru saja dia kembali dari Gratia High School yang awalnya ingin menemui salah satu tenaga kependidikan untuk diwawancarainya. Namun, kebetulan yang sudah membuat janji dengannya sedang tidak hadir hari ini. Dan hanya menitip pesan kepada Zania agar datang lagi besok lusa. Jadilah tadi Zania tidak melakukan wawancara dengan siapa-siapa. Sebagai gantinya, dia meminta izin untuk ditunjukkan beberapa file arsip untuk kepentingan lampiran skripsinya nanti.
"Zi! Mau minum apa?"
Zania mendongak sekilas, dan mendapati sosok Brisia yang memakai apron tengah melihatnya. Rupanya, sang baker's itu sedang menjadi waitress hari ini.
"Yang dingin-dingin, dong, Bri."
"Tapi non-coffe, ya? Kasian lambung lo nanti tiap hari nggak pernah nge-skip kafein."
"Gue perlu itu biar gue nggak ngantuk, Bri. Abis ini gue mesti lanjut nulis lagi."
Perempuan seusianya itu sontak berdecak. Merasa tidak punya pilihan, akhirnya Brisia melenggang dari sana. Kembali ke meja bar di mana sosok Arsa ada di sana. Sedangkan Rian tampak melayani pengunjung lain. Dan Radita, stay di belakang kasir.
Kadang Zania berpikir jika kafe yang dirintis adiknya ini sudah waktunya mencari pegawai baru. Bukan apa-apa, jobdesc Brisia di Titik Teduh sebenarnya adalah Baker's. Arsa di barista, dan Radita sudah tentu di kasir. Yang menjadi waitress tetap selama ini hanyalah Rian. Jika kafe sedang ramai, biasanya Brisia turun tangan untuk membantu. Kadang Putra juga ikutan.
Seraya menunggu minumannya, Zania membuka laptop. Siap menulis meski rasanya untuk sekarang otak sedang tidak bisa diajak bekerja sama untuk berpikir fiksi. Namun, mau bagaimana lagi? Mbak Audrey tidak akan berhenti menerornya jika minggu ini tidak menyetor chapter baru.
"Iced coffe latte delapan shot." Brisia datang seraya meletakkan gelas tinggi berisi kopi di meja Zania.
"Lo mau bikin gue melek seminggu ke depan, Bri?"
"Kata lo lagi butuh, 'kan? Yaudah, sekalian seminggu nggak tidur biar novel lo cepet selesai," ujar Brisia, dengan cengiran khasnya. Zania tahu perempuan di depannya ini cuma bercanda. Maka dia hanya menanggapinya sebagai tawa kecil dan gelengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake Our Ineffable [Completed]
Roman d'amour"Lo mau move on, 'kan? Ya udah, tanggepin semua yang lagi deketin lo." "Nggak mau." "Nggak mau apa?" "Move on." "ZI!" ____ Zania merasa perjalanan hidupnya tidak ada yang sesuai dengan rencana. Gagal masuk Fakultas Psikologi. Gagal mendapatkan beasi...