14

354 43 0
                                    

"Aku memang pernah menikah. Tapi, kami bercerai setahun yang lalu. Dan Venice, dia bukan putraku. Dia anak mantan istriku," tanpa sadar rahang Build terjatuh mendengar penjelasan Bible. Kedua bibirnya terbuka dan tertutup beberapa kali, namun tak sepatah kata pun keluar. Ada banyak kalimat ingin terlontar, tapi Build tidak tau mana yang harus dikatakan lebih dulu.

"Ha?" dan setelah beberapa saat, hanya itu yang Bible dengar dari mulut Build.

"Ini akan panjang. Bisakah kita istirahat lebih dulu? Besok kita bisa bicara lagi. Aku yakin kau juga butuh waktu untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan untukku," entah dari mana Bible memiliki kepercayaan itu. Simpulan yang dia susun dalam waktu singkat itu pun tak banyak mengubah ekspresi Build.

Build tak bisa berpikir. Kacau. Dia hanya menatap Bible dalam diam. Bible tak jauh berbeda. Dia tau ini membingungkan. Dia sendiri juga tak tau harus memulai ceritanya dari mana. Bahkan, dia juga tak mengerti mengapa dia ingin Build mendengar penjelasannya.

.

.

.

Build tak bisa tidur. Sudah 2 jam dia hanya berbaring ke kiri dan ke kanan. Kasurnya nyaman. Bantalnya empuk. Sprei putihnya bersih dan harum. Ruangannya luas dengan perabot dan pencahayaan sempurna. Lalu, apa masalahnya?

Di sini.

Di kepala dan dalam dadanya. Semua seolah berkecamuk. Otaknya belum bisa mencerna dan hatinya masih belum bisa menerima. Ini terlalu rumit. Hidup Build sudah kusut, dia tak ingin sesuatu yang lebih ruwet ketimbang kisahnya sendiri.

Pada akhirnya, dia keluar kamar. Mencari apa pun untuk mengalihkan semua yang mengganggu benaknya. Dia tau ini tidak sopan, tapi dia benar-benar pusing. Rasa kantuknya sudah lenyap sejak lama. Matanya hanya bisa terpejam, namun tidak dengan pikirannya.

Di sofa warna coklat itu dia duduk termenung. Mengangkat kakinya, lalu memeluk lututnya sendiri. Ruangan itu gelap sehingga rumah besar itu nampak sedikit menyeramkan. Build tidak takut. Justru ini mungkin bagus untuk menjernihkan pikirannya. Dipandanginya perabot-perabot mewah di ruangan itu satu per satu. Tanpa cahaya pun, barang-barang itu tetap terlihat mahal. Build kini mengerti, mengapa bagi laki-laki itu, 25 juta tak ada artinya. Mungkin, bisa jadi harga diri Build tak lebih mahal dari guci besar di pojok ruangan. Menyadari itu, hatinya sakit lagi.

'Sial! Menjadi miskin benar-benar menyebalkan,' batinnya.

Sesaat setelah masuk ke rumah itu, Bible langsung menyilakannya ke kamar yang tadi dia tempati. Memintanya istirahat dan berjanji untuk mengantarnya besok pagi. Build sendiri tak ada penolakan berarti. Dia hanya tidak tau harus bagaimana. Namun, setelah Bible pergi, Build sadar bahwa seharusnya dia tak di sini. Meski Bible sudah bercerai, meski bayi itu bukan anaknya, tak akan membenarkan Build ada di sini. Saat ini statusnya hanya tutor Ta, adik Bible. Tak lebih, tak kurang. Tak ada dan takkan pernah ada hubungan antara dia dan Bible. Meskipun itu hanya sebuah kata 'teman', Build tak ingin memilikinya bersama Bible.

"Looking for something?" Build terlonjak mendengar suara itu. Di ujung tangga, Bible sudah berdiri sambil menatapnya dengan mata tajam itu. Lagi-lagi, meski gelap, Build masih bisa melihatnya dengan jelas.

"Tidak. Aku hanya tidak bisa tidur," Build menjawab dengan gagap. Menurunkan kakinya, lalu meremas tempurung lututnya. Suara langkah kaki Bible mendekat. Membuat Build makin gugup. Hingga Bible memutuskan untuk duduk di sofa samping agar bisa menatap Build lebih leluasa.

"Apa ada yang kurang nyaman?" Bible memastikan. Build hanya meliriknya sekilas. Tak benar-benar ingin menatap lelaki itu. Namun, lirikan beberapa detik itu cukup untuk menangkap bahwa Bible dengan piyama dan rambut sedikit berantakan ternyata nampak begitu rupawan. Build menggelengkan kepalanya. Antara menjawab pertanyaan Bible atau ingin mengeluarkan pikiran aneh barusan.

Is It Ok?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang