18

334 39 0
                                    

"Dosen menyebalkan itu memilihmu lagi?" Apo bicara sambil mengunyah telur dadar yang sedikit kering di bagian tengahnya.

"Itu projek lanjutan. Jadi, aku lagi yang harus ikut," Build hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya. Akhir-akhir ini nafsu makannya seolah menghilang.

"Benarkah? Kenapa aku hanya melihat unsur kesengajaan di sini?" itu suapan terakhir saat Apo mengucapkannya. Lalu, dia beranjak ke sudut dapur.

"Apa maksudmu?" Build berhenti menggerakkan alat makannya. Mengamati Apo yang berjalan ke dapur. Kamar mereka kecil. Menyatu dengan dapur di sudut ruangan dekat pintu masuk. Jadi, setelah masak atau makan, mereka harus segera membersihkannya agar kamar mereka tidak bau. Meskipun bukan pecinta kebersihan, keduanya tidak jorok. Kamar itu cukup terbilang rapi untuk ukuran dua laki-laki yang tinggal bersama.

"Dosen itu, dia menyukaimu, kan?" suara Apo terdengar datar. Biasa saja. Meski begitu, Build bisa menangkap ada kekesalan di sana.

"Masih saja. Kau dan segala pikiran anehmu," ini memang bukan pertama kali Build mendengarnya dari Apo. Dari semua dosen yang mengajak Build untuk terlibat dalam projek mereka, Apo selalu hanya menyoroti satu dosen itu. Build tau benar kebencian Apo pada dosen itu. Dendam karna harus mengulang mata kuliah, terus dibawa Apo hingga kini mereka hampir lulus. Namun, anehnya, Apo terus saja memberikan tuduhan tak beralasan itu untuk hubungan Build dengan dosen itu.

"Hey, seluruh kampus juga tau hal itu. Kau saja yang tidak peka," Apo selesai mencuci. Mengisi air di gelasnya, lalu kembali duduk di hadapan Build.

"Aku juga menyukaimu. Seluruh dunia tau itu. Hanya kau saja yang tidak peka," Build mengatakannya begitu saja. Tanpa ada gugup atau terbata dalam ucapannya. Bahkan, tatapannya tepat di kedua mata milik sahabatnya.

"Tentu saja aku tau. Lagipula, siapa di dunia ini yang bisa lepas dari pesonaku?" Apo tersenyum lebar. Build tau ending-nya akan begini. Apo, tidak akan pernah bisa melihatnya lebih dari sekadar roommate semata.

###

"Bebek," rutinitas Venice kembali masuk di tengah-tengah Build yang sedang memberi penjelasan pada Ta.

"Venice, nanti dulu ya," Build kembali fokus pada Ta. Namun, kedua tangan mungil itu menarik-narik ujung kemejanya sambil terus mengucap kata yang sama.

"Bebek. Bebek," seolah Venice takkan berhenti sebelum Build memberinya jawaban 'iya'.

"Venice," suara Build sedikit meninggi. Venice pun sedikit tersentak dan terdiam setelahnya. Hanya menatap Build dengan mata berkaca-kaca. Itu bisa tumpah kapan saja. Ta langsung meraihnya dalam gendongan. Lalu, membawanya keluar dari ruangan.

Saat mendengar suara pintu tertutup, Build tersadar. Mengusap kasar wajahnya penuh penyesalan. Suasana hatinya benar-benar kacau. Bahkan, tadinya dia sempat tak ingin berangkat mengajar. Namun, dia tau bahwa hidupnya masih akan bergantung pada uang dan uang.

Setelah 10 menit berlalu dan Ta belum juga kembali, Build memberanikan diri untuk keluar dan mencari keberadaan mereka. Saat menuruni tangga, Build dapat melihat di ruang tengah itu Venice sudah sesenggukan dalam pelukan ayahnya. Tiba-tiba, Build tak berani melangkah lagi. Tapi, dia juga tidak kembali ke ruangan sebelumnya karna kini Bible dan Ta sudah telanjur melihatnya. Build hanya mematung di tengah-tengah tangga melingkar itu.

Ta bergerak lebih dulu. Dia tau bahwa tutornya pasti menjadi sangat canggung dengan keadaan ini. Ta paham posisinya. Tutornya tidak salah. Terlebih, situasi yang melatarbelakangi hubungan antara mereka semua memang sudah rumit sejak awal. Dan Ta tau benar siapa yang paling pantas disalahkan dalam hal ini.

"Phi, ayo lanjut belajar," Ta mencoba untuk tidak terlihat gugup. Meskipun, raut wajahnya gagal menyembunyikan itu.

"Oke," Build berbalik. Berjalan perlahan menuju ruangan sebelumnya. Duduk di tempat semula dan mencoba fokus lagi dengan bahan ajarnya. Ta juga sudah duduk manis di tempatnya. Menunggu Build kembali menjelaskan materi. Sayangnya, Build kehilangan konsentrasinya. Dia tidak tau apa yang harus dia katakan. Hanya menunjuk tulisan di buku, tanpa tau apa yang ingin dia sampaikan. Ta masih menunggu dengan sabar. Hingga akhirnya, Ta hanya mendengar desahan napas yang berat itu.

"Phi mau pulang saja?" Ta menawarkan. Build menggeleng. Dia tidak ingin menjadi tak tau diri. "Jangan dipikirkan. Venice hanya merajuk. Dia memang begitu."

Build tau bahwa Ta hanya ingin menenangkannya. Memecah kecanggungan yang sudah terlanjur membingkai di antara mereka semua.

"Aku..., aku tidak bermaksud...," Build tak bisa memilih kata yang tepat. Tiba-tiba kosakata dalam memorinya menjadi begitu terbatas.

"Aku tau. Phi Bib juga tau. Venice juga nanti akan mengerti. It's oke. Tidak perlu dipikirkan," Ta tersenyum. Masih berusaha meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.

Dulu, mungkin bagi Build, hal semacam ini hanyalah masalah sepele. Tanpa pikir panjang, Build hanya akan minta maaf dan memberi alasan logis untuk membela diri atau sekadar mengalah dan membiarkan dirinya dimarahi. Tapi, ini hal lain. Setelah semua yang terjadi antara dirinya dan laki-laki itu, hal semacam ini tidak akan pernah menjadi hal kecil baginya.

'Bagaimana jika Bible marah padanya? Kesal? Kecewa? Atau bahkan membencinya? Venice mungkin bukan anak kandungnya, tetapi semua juga tau bahwa Bible mungkin rela mati demi anak itu.'

Terlepas dari pikirannya tentang reaksi Bible padanya, Build masih ingat bagaimana Venice terlihat begitu sedih saat menatapnya.

Itu, tatapan yang sama seperti tatapan Bible padanya saat dia meninggalkannya di gedung itu.

.

.

.

Langkah kaki itu terasa berat. Build tidak tau, apa arah langkah kakinya tepat atau tidak. Punggung laki-laki itu kini nampak makin jelas. Pun kakinya makin terasa lemas.

"Bib," suara Build terdengar lirih, namun Bible dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

"It's oke," belum juga Build mengucap hal lain, Bible sudah memotong seolah tau apa yang ingin Build sampaikan padanya.

"Aku tidak sengaja," Build tetap mengatakannya. Bagaimana pun, membayangkan Bible salah paham ternyata tak membuatnya nyaman.

"Aku tau," Bible terlihat tenang. Build bisa melihat tak ada kemarahan atau kekecewaan di sana. Benarkah Bible tau bahwa dia tak benar-benar bermaksud menyakiti hati putranya?

"Apa, Venice masih sedih?" Build ingin memeluk bayi itu. Menciumnya dan mengucapkan maaf berkali-kali sampai bayi itu tak lagi memperlihatkan mata sendunya.

"Tak perlu dipikirkan. Dia hanya keponakan dari muridmu. Anak dari kakak muridmu. Sebatas itu. Jadi, tak perlu dipikirkan terlalu jauh. Aku dan Ta bisa mengatasi hal sepele semacam itu," lagi-lagi, Bible mengucapkannya dengan tenang. Tak ada emosi di dalam kalimatnya.

Lalu, kenapa Build terluka?

"Hn...," tak ada balasan. Build hanya mengangguk. Anggukan dalam hingga dia lupa mengangkat wajahnya lagi.

"Kau sudah boleh pulang."

.

.

.

TBC

Is It Ok?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang