9

352 35 1
                                    

"Bagaimana keadaan nenekmu?" Bible memecah suasana. Pasalnya, sejak dia berhasil membuat Build mau makan dengannya, lelaki di hadapannya itu tak bicara sedikit pun. Bahkan, Bible bisa tau bahwa Build sengaja makan dengan cepat agar dapat segera pergi.

"Baik," jawab Build singkat.

"Nenekmu sakit apa?" Bible berusaha memperpanjang obrolan mereka.

"Aku lupa istilahnya. Tapi, saat itu dokter melakukan pengangkatan kelenjar getah bening untuk diagnosis kanker," tiba-tiba Build kehilangan selera makan. Apalagi sejak awal dia memang tak benar-benar ingin makan bersama Bible.

"Lalu, bagaimana hasilnya?" Bible meletakkan alat makannya. Kini perhatiannya penuh kepada Build.

"Negatif. Tapi, dokter masih akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut," Build menenggak minuman dingin di samping piringnya.

"Apa perlu operasi lanjutan?" Bible masih penasaran. Mungkin 'sedikit' peduli.

"Aku belum tau," Build tidak bohong. Dia tak banyak tau tentang dunia kesehatan. Yang dia tau, dia akan melakukan apa saja asalkan neneknya sembuh.

"Aku punya kenalan seorang dokter. Dia dokter yang bagus. Maksudku, dia mungkin bisa memeriksa nenekmu. Apa kau mau aku kenalkan dengannya?" Bible tidak biasa bicara panjang lebar untuk menjelaskan sesuatu. Hanya saja, dia merasa Build tak begitu suka bicara dengannya. Jadi, Bible berusaha memilih kata sebaik mungkin agar Build tetap mau bicara dengannya.

"Tidak perlu," Build menolak cepat.

"Kenapa?" Bible masih berusaha. Namun, Build tidak menjawab. Build justru bersiap untuk pergi.

"Aku sudah selesai. Ada pekerjaan lain yang menungguku," saat Build bangkit dari tempat duduknya, Bible juga secara otomatis mengikuti.

"Aku antar," ucap Bible sambil berusaha agar Build tidak kabur. Laki-laki di depannya itu seakan sudah siap mengajak lomba lari dengannya.

"Tidak perlu. Temanku akan menjemput," Build memang diam-diam mengirim pesan pada Apo agar menjemputnya. Untung saja Apo sedang free.

"Oh. Teman yang mana?" Bible tak ingat sejak kapan dia menjadi sangat ingin tau tentang urusan orang lain.

"Temanku. Kusebut juga, kau tak kan kenal, kan?" terdengar nada kesal terselip di ucapan Build. Dan Bible menyadari itu.

"Oke," lalu Bible pun menyerah. "Nanti akan kuhubungi lagi untuk perubahan jadwal privat Ta."

"Kuharap tidak terjadi lagi. Jadwalku juga padat. Aku tidak bisa mengikuti jadwal Ta jika selalu berubah-ubah," Build tak lagi canggung mengungkapkan isi hatinya.

"Hn... aku pastikan itu takkan merugikanmu," ucap Bible meyakinkan.

"Kalau begitu, kau bisa mengganti uang transporku hari ini?" Build tak mau rugi. Mencoba melempar negosiasi.

"Aku sudah menawarkan diri untuk mengantar. Kau yang menolaknya," Bible kembali tersenyum menyebalkan.

"Lupakan," dan Build benar-benar pergi.

Bible hanya memandangi laki-laki itu dari meja tempat mereka makan. Sampai akhirnya punggung tegap itu menghilang di balik pintu. Bible kembali duduk. Merenungi apa yang sedang dia lakukan sebenarnya. Urusan dan masalah hidupnya sudah cukup menyita waktu. Kini, dia malah mencoba masuk ke masalah hidup orang lain yang bahkan tak benar-benar dia kenal.

Bible yakin, dia hanya penasaran. Sesaat setelah melihat profil Build waktu itu, Bible tiba-tiba ingin tau lebih banyak tentangnya. Profilnya baik. Sangat baik. Kemudian, dia meminta Bas untuk mencari informasi lebih tentang Build sebelum memutuskan untuk menjadikannya tutor Ta. Bagaimana pun, keputusanya sedikit berisiko. Mengingat, bisa saja Build akhirnya mengetahui bahwa Ta lah yang sebenarnya memesan dia malam itu. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin Build akan membuat citra Ta menjadi buruk. Itu berpengaruh untuk masa depan Ta, bukan?

Bible tidak tau apakah Build akan memiliki pikiran sepicik itu. Namun pada akhirnya, Bible hanya terjebak.

Terjebak oleh kesalahpahaman dan kebetulan yang menyebalkan ini.

.

.

.

Build melesakkan kepalanya di tengkuk Apo. Mengeratkan pelukannya di pinggang roommate-nya itu. Mencoba menghirup aroma tubuh sahabatnya.

Apo melirik sekilas kedua tangan yang melilit pinggangnya. Tau bahwa laki-laki di belakangnya itu tengah gusar. Lalu, Apo mencoba mencari jalan lain yang lebih panjang. Dengan begitu, mereka akan menyusuri jalanan lebih lama untuk menuju tempat tinggal mereka. Apo berharap, angin jalanan akan menerbangkan segala kegundahan Build.

Yang Apo tidak tau, justru aroma tubuhnya yang mampu menenangkan Build.

.

.

.

###

"Gambar bebek," Venice menarik bagian bawah baju ibunya. Mencari perhatian seperti biasanya.

Jane membelai rambut hitam Venice. Lalu, belaian itu turun ke pipi chubby Venice. Mengusapnya beberapa kali.

"Sudah hampir 3 bulan. Mami kira, Venice akan lupa dengan Mami," Jane tidak bisa menahan tangisnya sendiri. Walau isaknya teredam, air matanya terus mengalir. Sosok mungil di depannya, kini sudah berkaca-kaca.

"Huweeee," dan tangisan Venice lolos. Venice tidak bisa melihat orang lain menangis. Dia pasti akan ikut menangis beberapa waktu setelahnya. Jane merengkuhnya. Anak semata wayangnya.

"Sorry, baby. I'm so sorry," Jane menciumi puncak kepala Venice. Membuat tangis bocah itu justru makin keras. Tangan mungil Venice mencengkram baju Jane. Seolah takut bahwa ibunya akan pergi lagi.

Venice terlalu dini untuk mengerti apa itu ditinggalkan.

.

.

.

###

"Tadi Phi Jane datang ke sini," Ta menyambut Bible dengan sebuah informasi. Nada suaranya terdengar kesal. Dia masih saja membenci wanita itu.

"Tidak biasanya dia tak memberitauku," Bible segera membuka ponselnya. Memastikan bahwa Jane memang tak menghubunginya.

"Mungkin sengaja. Agar tidak bertemu," Ta mendecih.

"Baguslah kalau begitu," Bible tak ingin memperpanjang bahasan tentang wanita itu.

"Kalau aku jadi Phi Bib, aku takkan membiarkan dia bertemu Venice," wajah Ta berkerut. Semua kekesalannya selama ini menumpuk di ekspresi wajahnya.

"Dia ibunya," Bible takkan lupa fakta itu.

"Ya ya ya. Status darah itu yang membuatnya akan selalu menang," Ta tak tahan. Dia tau bahwa kakaknya takkan pernah ada di pihaknya jika tentang wanita itu. Jadi, Ta memilih pergi ke kamarnya dan mengutuk wanita itu dalam diam.

.

.

.

Bible mengusap rambut Venice yang sedang tertidur pulas. Lalu, mengecupnya ringan. Menatap buah hatinya itu dengan sendu. Putranya itu tumbuh dengan baik secara fisik. Namun, tidak dengan mentalnya. Dan orang yang paling Bible salahkan untuk semua hal buruk yang menimpa putranya, tentu adalah dirinya sendiri. Andai dia bisa menjadi suami dan ayah yang baik, Venice pasti akan tumbuh menjadi anak yang bahagia dan ceria seperti anak lainnya. Bible tau, dia takkan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Sayang, tidur yang nyenyak ya. Mimpilah yang indah. Semoga, semua yang tidak kau dapatkan di dunia nyata ini, bisa kau temui di mimpimu. Dan saat kau bangun, kau hanya akan mengingat kebahagiaan itu," Bible mencium jemari Venice satu per satu.

"I'am sorry."

.

.

.

TBC

Is It Ok?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang