bab 17.

1.3K 167 73
                                    


Malam semuanya, semoga dalam keadaan sehat dan ceria selalu.

Jangan lupa VOTE atau Komen nya ya phi phi sekalian.

Happy reading.


"Mas nggak papa, nanti aja pas kita pulang beli obatnya, Mas kan lagi sibuk gini," tahan Tine pada suami yang hendak turun untuk membelikan obat sariawan untuknya.

"Kalau dibiarin, sakitnya jadi lama, kamu mau nanggung emang? Gitu aja udah mau nangis?"

Memang ini sangat menyakitkan bagi Tine, rasa perih itu menjalar di bibirnya yang berisi.

"Mas nggak papa, nanti aja ya," bujuk Tine lagi.

"Hufttt ... Tine ...?"

Maf kembali menghubungi sekretarisnya—Dian, membuat Tine bersyukur.

"Kamu tolong ambilkan air anget kuku untuk istri saya ya, sekarang nggak pake lama!" titah Maf. Kemudian kembali pada istrinya yang sedang menahan sakit.

"Mas turun sebentar ya, nggak lama kok."

"Mas nggak usah, bilang sama Dian juga nggak usah, aku bisa ambil sendiri di dapur kantor," ucap Tine sungkan.

"Udah diam, tunggu dan duduk manis saja," ucap Maf mutlak, lalu pergi ke apotek mencari obat sariawan.

Tak lama setelah suaminya pergi, Dian datang dengan wajah kesal membawakan air putih yang atasannya minta tadi.

"Dian, aku minta maaf ya udah membuat kamu repot," ucap Tine sangat sungkan.

"Hmmm ... nggak papa, Tuan. Tapi lain kali jangan suruh saya ya, kita di sini punya OB, jadi hal-hal yang seperti ini OB yang kerjakan," ucap Dian ketus lumayan membuat Tine semakin tak enak.

***

"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" sapa karyawan apoteker terhadap Maf.

"Saya mau beli obat sariawan, yang paling bagus tolong."

"Obat minum apa oles, Pak?"

"Yang bagus yang mana?"

"Dua-duanya bagus," tunjuk karyawan itu memberikan dua obat, satu untuk olesan satu lagi lebih ke minuman untuk yang harus di seduh.

"Selamat datang kembali," sapanya setelah Maf membayar dan keluar dari apotEk tersebut.

Air putih yang Dian bawakan tadi lumayan panas, bukan lumayan, tapi sangat panas membuat Tine bangkit dan mandiri pergi ke dapur kantor untuk menambah air dingin.

Di perjalanan, ia melewati ruangan Dian dan yang lain, tidak tertutup sehingga percakapan orang-orang di dalam dapat Tine dengar dengan jelas.

"Parah banget sih lu, Dian. Masa lu berani bilang itu ke Tuan Tine?"

"Abis gue kesal, manja banget tu anak, masih muda beraninya dia cuma nyebut nama gue, apalagi suruh-suruh gue, emang dia siapa sih? Istrinya Pak Maf? Iya, gue tau, tapi harusnya tu dia sadar, dia tu nggak sebanding ama Pak Maf, sama kita aja nggak sebanding, cuma tamat SMA bisa apa sih? Cuma bisa jadi pengganggu aja, malah caper lagi, sariawan dikit aja manja banget."

"Lu nggak boleh gitu, Kak Dian. Biar bagaimanapun kita harus menghormati Tuan Tine, karena secara sah ia istri pemimpin kita," tegur Santi.

Tine yang mendengar hal itu langsung menunduk sedih, hal inilah yang ia takutkan, sebuah kritikan datang padanya atas apa yang tidak ia lakukan sedikit pun.

Ketika ia hendak pergi dengan diam, Tine terkejut ketika berbalik, melihat sosok suaminya dengan raut yang marah.

"Mas," tahan Tine ketika Maf dengan membara ingin melabrak karyawannya.

MAF&TINE(BL) (MG)| SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang