06 • NASIB

1.3K 57 0
                                    

Serli menyeka air matanya berulang kali. Pagi-pagi sekali Serli mendapatkan cacian dan makian dari Elang. Laki-laki itu mengatakan Serli bodoh, tidak becus, menyusahkan, buruk rupa, miskin, dan lainnya. Serli tidak tahan untuk tidak menangis.

Kini Serli ada di dapur. Memasak sarapan pagi untuk mama mertua yang sebentar lagi akan pergi ke arisan. Serli tidak jago memasak, tapi Serli akan mencoba untuk memasak demi mama mertuanya. Beberapa menit berlalu dan akhirnya ayam cabe hijau sudah selesai dibuat.

Serli menaruh ayam cabe hijau itu di atas meja makan. Lalu mengambil satu piring dan menaruh nasi di atasnya. Serli mengangkat kepala saat mendengar langkah kaki yang mendekat ke arah dapur. Disana sudah ada Sinar yang pandangannya jatuh pada piring yang berisi ayam cabe ijo.

"Buang aja. Saya mau makan di luar." Ujar Sinar dan langsung berbalik. Wanita paruh baya itu berjalan keluar dari rumah tanpa menoleh sedikitpun pada Serli. Serli yang hendak menarik senyum ke atas terpaksa harus diurungkan. Lagi-lagi kerja keras Serli tidak dihargai.

Serli berlari masuk ke dalam kamar Elang. Mengeluarkan tangisan yang begitu pilu. Tidak dihargai oleh keluarga baru itu sangat menyakitkan.

Disela isakannya Serli melihat pigura yang ada di atas lemari samping tempat tidur. Pigura foto keluarga besar Elang saat pernikahan Serli dan Elang. Disana seharusnya ada Serli, namun Elang menghilangkan Serli dari sana, dengan mencoret-coret tubuh dan wajah Serli menggunakan spidol merah gelap.

"If I have life eraser i will eraser u definitely eraser you Elang."

Serli menutup mulutnya, menahan teriakan yang menggambarkan jika Serli benar-benar merasakan hatinya dicabik-cabik. Serli Mencoba untuk tidak menangisi orang-orang yang sama sekali tidak menganggapnya seorang manusia yang memiliki hak untuk dihargai. Serli mengambil selimut miliknya lalu membentangkan selimut itu di atas lantai. Serli akan tidur pagi di bawah lantai. Tidak akan tidur di kasur empuk milik Elang. Takutnya membawa virus, HAHA.

§§§

Elang menidurkan kepalanya di atas bantal. Siang hari Elang diberikan istirahat oleh atasannya. Seharusnya siang ini Elang akan makan di cafe dekat dengan stasiun. Tapi sayangnya tubuh yang begitu lelah ini tidak ingin sekali beranjak dari tempat peristirahatan khusus masinis. Elang memesan makan siang lewat aplikasi online. Dan lima menit yang lalu Teo sudah pergi ke luar stasiun untuk menunggu driver.

Elang berdecak. Perut Elang sudah keroncongan minta diisi. Elang berjalan untuk membuka pintu view yang pertama Elang lihat ialah banyaknya manusia yang duduk berjejer di kursi tunggu stasiun sambil memainkan benda persegi panjang mini itu. Hari sabtu adalah hari kerja terakhir dan besoknya libur. Terkecuali pada orang yang berprofesi seperti Elang, kerja setiap hari tanpa mengenal kata lelah.

Elang berjalan keluar dari area tunggu stasiun. Pria itu berhenti tepat di samping Teo yang sibuk menelpon. Elang mendengus, pantas makanannya belum datang. Teo saja tengah telponan dengan istrinya. Bagaimana driver bisa menelpon.

Elang celingukan. Mencari driver yang pasti kesusahan mencari keberadaan pelanggannya. Elang tersenyum puas saat melihat ada driver yang memakai jaket khas tengah sibuk mengetik di ponselnya. Elang tebak pasti itu drivernya. Tanpa babibu Elang berjalan mendekat pada bapak driver.

"Atas nama Teo?" Tanya Elang memastikan.

Driver tersebut langsung mendongak dan mengangguk cepat. "Empat puluh lima ribu." Ujarnya.

Elang mengecek saku baju dan celananya. Seperkian detik setelahnya Elang mendesah berat. Uangnya ada di tangan Teo.

"Bentar pak." Elang berjalan mendekat pada Teo, lalu merampas ponsel Teo dengan kasar. "Duit!" Titah Elang membentak.

Teo tampak berdecak lalu merogoh saku dan memberikannya pada Elang. Pria berstatus sudah menikah itu kembali merampas ponsel yang masih tersambung dengan istri yang ada di rumah keluarganya.

"Bucin." Cibir Elang.

"Iri? Bilang bos." Balas Teo tidak mau kalah.

Elang mengabaikan Teo. Pria itu lebih memilih untuk berbalik dan mengambil pesanan dari driver. Lebih baik mendahulukan kepentingan perutnya dari pada Teo. Tanpa mengucapkan kata terimakasih atau sekadar mendengar satu kata tersebut keluar dari mulut driver, Elang lebih dulu merampas plastik berisikan pesanannya dan masuk ke dalam ruang istirahat Masinis.

Elang baru saja membuka pesanan makanannya. Dan bunyi telepon masuk terpaksa menghentikan aktivitas Elang. Elang melihat nama yang tercantum di telepon tersebut. 'Mama'

Elang berdecak sebal. Pria itu menerima panggilan lalu menempelkan benda segi empat tersebut pada telinganya.

"Teman mama bakal datang ke rumah. Suruh istri kamu masak. Dua jam lagi mama sampai di rumah."

Tut

Elang menendang meja yang ada di depannya dengan kasar. Mood Elang untuk makan langsung turun. Emosi sudah menguasainya. Terlebih hari begitu terik. Elang melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. 13:25.

Elang melirik tajam Teo yang baru saja masuk ke dalam ruangan.

"Selow natapnya bro. Ini tadi bini gue bilang kangen." Keluh Teo merasa bersalah.

Elang mengabaikan Teo, pria itu mengambil kunci motor metik dan bergegas keluar dari ruangan. Mengabaikan panggilan Teo yang menerangkan jika tiga puluh menit lagi mereka akan kembali bertugas.

Elang menancapkan gas motornya di atas rata-rata tujuan Elang adalah rumah, rumah dimana yang seharusnya menjadi tempat peristirahatan terakhir selesai bekerja kini menjadi tempat paling Elang benci karena ada sosok Serli yang ikut tinggal disana.

§§§

Serli menahan isakannya saat memikirkan ulang semua kata, kalimat yang menusuk hati dan mentalnya. Semua yang diberikan oleh keluarga inti Elang mampu membuat Serli begitu sakit hati, bagaimana jika bertemu dengan keluarga besar nanti? Serli dengan dari ibunda sebelum datang kesini. Ibundanya bilang akan ada pertemuan keluarga inti dan besar keluarga Elang di waktu terpisah.

Serli menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Serli melihat bintik-bintik merah yang sudah memenuhi seluruh tubuhnya. Dipusingkan karena tingkah semua ornag disekitarnya, Serli jadi lupa jika ia sedang sakit.

Serli bergegas mendekat pada koper miliknya lalu menarik botol kaca yang berisi obat tradisional penangkis alerginya. Serli membuka tutup botol kaca tersebut.

Prank

Serli melihat botol kaca yang sudah pecah berkeping-keping setelah tangan kekar merampasnya lalu melemparnya ke dinding. Serli menengok ke arah Elang yang berjongkok di sampingnya. Cowok itu masih menggunakan setelan seorang Masinis. Elang mencengkram dagu Serli kuat-kuat, tatapan Elang begitu tajam dan menghunus.

"Kenapa lo harus datang di hidup gue?!" Tanya Elang menekan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Rahang Elang begitu mengeras yang menjelaskan jika pria itu sangat murka.

Elang menghempaskan dagu Serli ke samping. Pria itu berdiri tapi matanya tidak kunjung teralih dari wajah Serli. "Antara nasib lo beruntung atau nasib gue yang sial jadi pendamping hidup lo." Setelahnya Elang tertawa renyah.

Serli hanya bisa diam. Apalagi yang bisa wanita itu katakan? Apakah Serli harus bilang jika ia juga merasakan nasib buruk bertemu Elang? Apakah Serli harus bilang jika dirinya mendapatkan nasib yang beruntung bertemu sosok pria mapan, cerdas, berpendidikan, dan memiliki sikap begitu baik seperti Elang?

"Masak, sebentar lagi tamu mama gue datang." Setelah mengatakan satu kalimat perintah dengan nada begitu ketus, Elang langsung berjalan pergi meninggalkan Serli sendiri di kamar tanpa ada kata pamit.

§§§

TBC!
(7 Februari 2023)

WHAT IS LOVE? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang