Kukira Mine akan tetap menjadi Mine di mana pun dia berada terkhusus ada aku di sampingnya.
Mungkin juga sedang demam karena hari itu, sehari setelah dia tinggal di rumahku, dia menjadi lebih diam.
Aku memang tidak menawarinya berangkat bareng ke sekolah, aku baru menyadarinya setelah berjalan beberapa meter dari rumah.
Di hari Mine bolos sekolah itu (dia memang tidak terdaftar sebagai murid sekolah meski memakai seragam yang sama denganku), dengan sendirinya aku pergi ke perpustakaan nomor dua dan hanya mendapati penjaga perpustakaan di sana.
Aku mengembuskan napas, melanjutkan langkah tertunda menuju meja kami yang biasanya. Aku pun terlelap di sana dan masih tidak menemukan seorang pun duduk di depanku.
Tidurku berlanjut sampai sore. Baru ketika itu kudapati seseorang duduk di kursi itu.
"Setiap hari kau bergadang atau bagaimana sampai selalu mengantuk begitu di sekolah." Daniel memetik-metik senar gitarnya saat mataku menyesuaikan pencahayaan sorot matahari dari jendela belakangnya.
Kenapa dia duduk di situ? Itu tempat duduk Mine.
Aku tidak menjawabnya, menyimpan kepala ke samping. Udara yang kurasakan lebih hangat meski ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
"Kenapa Mine tidak ada di sini?" Daniel bertanya padaku. "Demam, terkunci di kamar mandi, atau kau lupa mengajaknya berangkat bareng?"
"Tidak tahu."
"Bertengkar lagi? Ck. Apa lagi yang kalian ribut-"
"Diamlah." Kupingku kesakitan mendengarnya berceloteh terus. Jauh lebih tidak enak didengar daripada keluhan Mine yang biasanya.
Aku beranjak dari situ. Jam dinding perpustakaan menunjuk ke angka lima kurang lima. Kurasakan tubuhku yang sedikit lelah biarpun sedari tadi aku cuma memejamkan mata. Posisi tidurku sesungguhnya memang kurang ideal.
Aku membeli minuman kaleng di mesin penjual otomatis, meminumnya di tempat. Tak cukup satu kaleng, kubeli lagi kaleng berikutnya. Masih tak cukup-ah, sudah cukup.
Aku mendudukkan diri sebentar di tempat duduk sana. Kepalaku sekarang jadi pusing.
Setelah berdiam cukup lama, aku pergi ke kelas untuk mengambil tas. Bersama beberapa murid yang tersisa, aku pun melangkahkan kaki keluar gedung sekolah.
Berhubung makan malam masih beberapa jam lagi, aku mampir sebentar ke konbini. Membeli roti melon dan puding stroberi.
Di jalanan yang sepi menuju rumah sambil menenteng kantung kresek, langkahku lambat sekali karena energi yang kupunya belum sepenuhnya terisi.
Ketika belokan sudah di depan mata, gerak kakiku terhenti karena ada seseorang yang tiba-tiba memelukku dari depan.
Aku membatu.
"Lama banget sih, keluarnya. Aku kesepian tahu."
Rambut panjang berwarna keabuan itu sudah terlalu sering mataku pandangi meski tak ingin. Dan ketika sosoknya tak kutemukan di saat mungkin aku sedang ingin-inginnya melihatnya, ada sesuatu yang kurang seperti saat aku merasa kekurangan tidur.
Di kala tak mengapa aku hadir bersama kesendirian yang akrab, kudapati diriku tak lagi merasa penuh jika tak ada hadirnya di depan belakang kanan atau kiriku.
Kusembunyikan senyumku darinya, melepas pelukan yang diam-diam telah mengisi energiku. "Kenapa kau tidak menunggu di dalam sana. Bukankah kau ini penakut."
Mine menggembungkan pipi. "Tempat itu menjadi lebih seram jika tidak ada Shiragami-kun di dalamnya."
"Kan ada Kenji-nii."
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romanceada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.