"Kau menemukan seorang gadis cantik di luar bilik toilet?"
Kenji-nii memekik kaget saat melihat diriku pulang bersama Mine ke rumah. Tujuan Mine menghampiriku sampai ke luar dari sekolah memang untuk meminta tinggal di rumahku.
Kurang ajar, kan? Tapi aku tetap membawanya ke sini.
Kenji-nii terus menatap Mine penuh pancaran sinar kebahagiaan. "Asyik, ada penghuni baru!" Dia lalu memutar kursinya kembali menghadap komputer.
Aku menggeleng-gelengkan kepala di tempat tidur Kenji-nii. "Dia ini orang yang sangat merepotkan, Nii. Juga tidak bisa melakukan apa-apa selain menghabiskan makanan."
"Aku hanya perlu menambah mangkuk nasi di meja makan saja, kan?" Nada suaranya riang sekali seolah seaneh apa pun manusia yang hendak tinggal di rumahnya ini bukan masalah selagi kondisi rumah tidak sepi.
Meski hikikomori, Kenji-nii ekstrover. Periang, menyukai keramaian, dan pandai bersosialisasi. Entah bagaimana caranya kami bisa bersaudara.
Mine tampak tak mendengarkan satu pun pembicaraan kami. Dia sibuk melihati perabotan kamar Kenji-nii yang minimalis; sesungguhnya tidak ada barang spesial yang bisa membuatnya terkagum.
Berdetik-detik kemudian, aku baru menyadari suatu hal. "Kenji-nii, kau bisa melihat Mine?"
Kukira nantinya aku akan sering dianggap gila olehnya karena ketahuan mengobrol dengan sesosok hantu seperti Mine saat di rumah.
"Bagaimana mungkin aku tidak dapat melihat gadis secantik itu." Kepala Kenji-nii berada terlalu dekat dengan layar komputer. Matanya akan rusak. Tapi matanya sangat sehat alias tidak pakai kacamata minus.
Aku mengembuskan napas ke bawah. Saat itu Mine kembali dari aktivitas sibuknya melihati perabotan kamar. "Dia bisa melihatku?" Perkataannya tidak seriang ketika mengetahui Daniel bisa melihatnya. Mungkin sudah terbiasa.
Aku berdiri, menggamit lengannya untuk kubawa ke kamar tamu. Jangan bertanya kenapa aku setuju menampungnya karena aku pun tidak tahu persis apa alasan aku mengiyakannya. Mungkin malas mencari kalimat penolakan.
Meski terdapat kasur, lemari, rak buku, dan meja belajar, kamar barunya Mine sedikit berdebu sebab sudah lama tidak ada yang membersihkan. Memang siapa yang akan membersihkannya? Kenji-nii sibuk main gim, aku pemalas.
Walau begitu, Mine tampak sangat bahagia mendapati kamarnya yang jauh lebih bagus dibanding ruangan rahasia di perpustakaan nomor dua. "Ini, sungguhan akan menjadi kamar tidurku?"
"Bayar dengan melakukan pekerjaan rumah tangga." Aku melengos pergi keluar ruangan, masuk ke kamarku yang sialnya berada tepat di samping kanannya.
Kulemparkan tubuh ke atas kasur empuk, merasakan pegal di pundak dan kaki karena begitu banyak melakukan 'hal lain' selain berbelanja di supermarket. Mengurusi Mine lebih menguras tenaga dibanding berolahraga.
Tapi meski sudah dikasih tempat tinggal, kepribadian gadis itu lantas tidak langsung berubah ke arah yang lebih baik. Mine kan orangnya memang tidak tahu terimakasih.
Pintu kamar yang lupa kukunci, dia buka dengan suara keras kemudian duduk di dekat kakiku di pinggiran kasur. "Jika 24 jam aku tinggal bersamamu, kau bisa mempercepat proses menulis ceritaku dong!"
Aku diam, tidak menjawab.
"Kau punya laptop, kan? Asyik!" Matanya pasti sudah tertuju ke sebuah benda persegi panjang yang layarnya kututup di atas meja belajarku. Aku lupa menyembunyikannya.
Kepikunanku sungguh membuatku makin kerepotan.
Terdengar bunyi roda kursi yang terdorong ke belakang. "Jangan-jangan kau sudah memulai prolog-nya tanpa sepengetahuanku, ya!"
Berharap pada seorang lelaki bernama Hiro adalah hal yang paling harus kau hindari di muka Bumi ini karena dia orangnya jarang sekali berinisiatif.
Mine menyalakan laptop-ku tanpa password karena lagi-lagi aku lupa memberinya password karena tidak menyangka Mine akan tinggal serumah denganku.
Aduh, Hiro. Rajin-rajinlah minum susu untuk mencegah penuaan dini.
Sore itu aku pun ketiduran di kasur kamar tidurku dengan Mine sibuk mengutak-atik laptop-ku. Bangun-bangun kudapati gadis itu berbaring di sebelahku dengan punggung bersandar ke dinding, bermain laptop di pangkuan.
Spontan aku membelalakkan mata. "Kenapa kau di situ?"
"Cuma pengen main sambil rebahan. Sudah sana lanjut tidur saja." Raut wajahnya cuek seolah tidak memikirkan kemungkinan jantungku yang tiba-tiba berdetak cepat.
Dan memang berdetak cepat.
Mine memindahkan bola matanya untuk menatapku. Masih tak ada raut apa-apa di wajahnya. "Rambutmu berantakan, tuh."
Tubuh masih kesulitan bergerak, Mine tiba-tiba mendekatkan tangannya ke atas rambutku dan merapikannya sambil tersenyum.
Ada sengatan listrik menghantam sekujur badanku.
"Hiro, makan malamnya sudah si—" Kenji-nii muncul di pintu di waktu yang sangat salah. "Oh. Ternyata kalian sedang berpacaran. Ya sudah, lanjutkan."
Pintu ditutup, tangan Mine masih berada di atas kepalaku. "Kita disangka berpacaran, ya? Hahahaha."
Mine tertawa-tawa santai sambil melepas tangannya dari sana, kembali menekuni kegiatannya di laptop-ku. Rasa bingungku bercampur dengan sisa kantuk, gugup, dan entah apa sengatan listrik tadi.
"Mi-minggir." Kulangkahkan kaki melewatinya dan menapaki lantai, berlari sekuat tenaga keluar kamar.
Kenji-nii yang masih berada di dekat situ tersentak. "Kau kenapa, kawan?"
Alih-alih menyanggah anggapannya tentang aku dan Mine yang berpacaran, aku melanjutkan lari menuruni tangga menuju kamar mandi. Aku membilas muka di wastafel, dan melihati diriku di depan cermin.
Ada yang berbeda dengan warna wajahku. Oh. Cuma kuping yang memerah.
Kulanjutkan membasahi rambut bekas tangan Mine tadi, membuatnya menjadi agak basah dan berantakan lagi.
Aku merutuki diri sendiri yang diam-diam berharap dia akan kembali merapikannya untukku.
Di meja makan, aku duduk di sebelah Kenji-nii, Mine mengambil kursi yang biasa Kenji-nii duduki di hadapanku. Makan malam berlangsung dengan hening seperti biasanya sebelum Kenji-nii yang ekstrover menanyai Mine beberapa hal.
"Hiro menemukanmu di luar bilik toilet?"
Aku menyikutnya. "Ceritanya sangat panjang." Bukan kebiasaanku bicara sembari makan. "Berhubung sepertinya Nii sering berkhayal, Nii pasti percaya bahwa dia ini tokoh fiksi alias bukan berasal dari dunia kita."
"Oh, begitu." Muka Kenji-nii memang menunjukkan kepercayaan dan kepolosan. Dia memandangi Mine terus-terusan. "Tokoh fiksi? Serupa hantu atau bagaimana?"
Ternyata dia memang kakakku.
Mine sedikit tertawa menanggapinya. "Memang tidak semua orang dapat melihatku. Tapi aku tidak tembus pandang seperti hantu. Selain itu," dia memasukkan kentang rebus ke mulutnya, "aku bisa makan."
"Menarik sekali." Tidak henti-hentinya Kenji-nii mengucap perkataan positif mengenai eksistensi Mine di rumah ini. "Lalu sampai kapan kau akan tinggal di sini, bersama Hiro?"
"Mmm ...." Mine berpikir. "Inginnya sih berlama-lama. Tapi jika cerita yang Shiragami-kun buat tentangku sudah selesai, aku bakalan pergi dari dunia ini."
Aku memotong-motong sayuran dengan ukuran sangat kecil dan banyak, menyimak pembicaraan mereka berdua.
Ceritanya saja belum kumulai. Bagaimana bisa dia kembali ke dunia tempat asalnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Roman d'amourada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.