7. trope dalam cerita percintaan

11 2 14
                                    

Aku tidak ingat kenapa aku bisa lumayan akrab dengan Daniel sampai memanggil nama depan masing-masing.

Daniel termasuk laki-laki yang terlihat keren dari penampilannya (karena ada gitar). Sikapnya pun tidak secuek diriku meski masih ada sisi cueknya. Kalau aku levelnya sudah sangat parah.

Agak tidak mungkin kami sering pergi karaoke bersama sepulang sekolah sebagai alasan berteman. Kami berdua nihil kecocokan.

Tapi ketika dirinya terlihat di depan mataku lagi setelah sekian lamanya, aku seperti merasa sedang bertemu teman lama. Terbukti tanpa takut menyinggungnya aku langsung memanggilnya dengan nama depan.

Daniel? Apa-apaan dengan nama kebaratan itu. Dia sama sekali tidak ada sisi orang luar negerinya.

"Hiro." Berkali-kali dia memetik-metik senar gitar entah sedang memainkan lagu apa. Sepertinya beneran ingin dikira keren. "Kau sudah lama berteman dengan gadis itu?"

Kami duduk berjauhan di perpustakaan nomor dua siang itu. "Hanya pertemanan sepihak."

Daniel tertawa singkat. "Memang Hiro sekali. Tidak memedulikan siapa pun selain dirinya sendiri."

"Bohong." Mine datang dari pintu 'markas' yang terletak di sebelah kiri meja penjaga perpus. Di tangannya ada sebuah buku catatan. "Shiragami-kun cuma gengsi. Aslinya dia senang akhirnya mempunyai teman wanita sepertiku."

Mine berhenti di kursi depanku, tempatnya yang biasa.

"Hei. Benci bisa berubah menjadi cinta, lho." Daniel memerankan perannya sebagai musisi penggubah lagu romantis dengan baik. "Berani taruhan beberapa hari ke depan, kalian akan saling jatuh cinta."

"Kau suka membaca novel romansa, ya?" Mine mengajukan pertanyaan atas pernyataan Daniel barusan.

Laki-laki tertawa singkat lagi. "Itu hal paling klise yang terjadi di dunia percintaan. Semua orang tahu soal itu."

Aku tidak.

Meski berkali-kali mendengar pernyataan cinta di rerumputan belakang gedung, sedikit sekali informasi yang kudapat dari sejoli yang jadi dan tidak itu. Aku keburu menutup kuping rapat-rapat saking tidak mau mendengarnya.

"Bagaimana menurutmu, Shiragami-kun. Apa nanti kita akan saling cinta?" Mine tampak tertarik membahas topik ini. Sangat. Tidak. Aneh.

Lama aku membuatnya menunggu. "Tergantung. Aku tidak pandai dan tidak mau pandai tentang hal begituan."

"Sangat Hiro sekali," timpal Daniel. Mungkin dia akan mendapat penghargaan orang yang paling mengenal Shiragami Hiro melebihi diriku sendiri.

Mine mengembuskan napas panjang sambil mendongak ke atas. "Kau benar-benar suram, ya. Baiklah ada baiknya sebelum mengeksekusi cerita, kita bahas satu-satu dulu mengenai trope yang biasa ada di cerita romansa."

Dari mana Mine mengetahui soal pengetahuan itu? Dia kan gadis fiksi. Kecuali jika di kehidupan sebelumnya dia menghabiskan seribu novel percintaan dan mendapatkan gelar profesor tingkat tinggi mengalahkan pakar cinta paling tersohor sekali pun.

Setengah hati, aku mendengarkan.

Yang pertama ada friends-to-lovers atau teman menjadi cinta. Seperti teman masa kecil yang pada akhirnya menjadi sepasang kekasih karena keduanya ternyata saling cinta.

Aku tidak mempunyai satu pun teman wanita jadi tidak mungkin aku bisa mengalaminya.

Kedua ada enemies-to-lovers, musuh atau benci menjadi cinta; yang dikatakan Daniel tadi.

Aku tidak benar-benar membenci Mine makanya tidak mungkin perasaan yang biasa saja itu berubah menjadi cinta.

Ketiga love triangle, cinta segitiga. Jika Mine suka padaku, dan Daniel menyukai Mine, sedang aku tidak menyukai siapa-siapa, maka itu bisa dikatakan love triangle.

Sangat tidak mungkin karena Daniel tidak mungkin menyukai Mine.

Keempat Cinderella Story. Kisah Cinderella. Si kaya dan si miskin. Si hebat dan si biasa saja. Biasanya pihak laki-laki yang kedudukannya lebih tinggi.

Tapi Mine terlalu mencolok untuk dikatakan biasa saja. Kalau untuk urusan kaya atau miskin, dia bahkan tinggal di ruangan sempit suatu perpustakaan sekolah. Tidak perlu dipertanyakan dia masuk ke bagian mana antara kaya miskin.

Sisanya aku malas menyebutnya di sini, atau bisa saja aku sudah ketiduran saking membosankannya topik yang Mine jelaskan.

"Kalau cerita yang akan kita buat, masuknya ke trope mana, ya?"

"Bertanya padaku mengenai ini, maka nilai di bawah standar yang akan kau dapatkan." Suaraku teredam sebab kepalaku menelungkup di balik lengan. Posisi tidur.

Lututku dia tendang.

"Daniel-kun."

"Panggil Hanekawa."

"Kira-kira jika ada laki-laki dan perempuan yang saling memendam rasa suka, atas dasar apa mereka bisa bersama jika keduanya terus berdiam sampai akhir cerita?"

Terdengar suara benda besar disimpan di atas meja. "Kau ini buta atau bagaimana. Ya mereka tidak akan pernah bersamalah jika tidak ada komunikasi antar satu sama lain."

"Mereka kan orangnya sama-sama pendiam. Sulit berinteraksi."

"Mine," aku memperlihatkan wajah mengantukku, menginterupsinya. "Bisa kau tidak memerhatikan detail-detail yang kurang penting? Siapa yang bilang keduanya pendiam?"

"Pertengkaran rumah tangga." Daniel berdiri mendorong kursi, membawa pacarnya (gitar) keluar perpustakaan.

Aku melanjutkan kata-kataku. "Tidak perlu dibuat sangat bagus atau terstruktur segala, yang penting ceritanya cepat selesai dan kau bisa segera kembali ke dunia impianmu."

Mine bersiap mendebat.

Dan terjadi lagi ketidaksepahaman kami mengenai cerita yang akan kami buat.

Untuk bagian ini, aku skip saja agar pembaca sekalian tidak bosan. Karena aku sendiri sudah bosan luar biasa.

"Mine dan Futaro. Mereka sekelas agar bisa menghasilkan banyak momen. Mine orangnya kalem, sedangkan Futaro keren."

Mine menulis rincian besar hal-hal seputar cerita yang akan kami tulis berdasar kesepakatan bersama.

"Sepertinya memang tidak ada jalan lain." Gadis itu memandangku sok serius. "Aku harus mewawancarai dan mengamati Hanekawa-kun sebagai referensi laki-laki keren."

"Ya sudah sana, kau wawancarai dia." Aku bisa tidur dengan tenang.

Tak jadi. Mine menarik lenganku. "Kau ikut biar aku tidak perlu menjelaskan hasilnya padamu."

Alasan. Bilang saja ingin ditemani karena takut dengan orang-orang luar perpustakaan.

Omong-omong saat kami membutuhkannya, laki-laki itu malah tidak datang ke perpustakaan lagi. Menyebabkan kami harus mencari keberadaannya di seputaran sekolah yang terbilang sangat luas.

Belum aku dan Mine menuruni tangga menuju lantai dua, langkah kaki Mine terhenti dan telapak tangannya berkeringat. Aku menyadari rasa takutnya telah muncul, namun juga tak memikirkan cara untuk menolongnya selain kembali ke markas kami yang biasa.

"Biasanya Hanekawa-kun suka menetap di mana? Kelas apa dia? Atau di klub band barangkali?" Dia mengutarakan tebakannya tanpa berbalik menatapku.

Aku mengamati rambut panjangnya yang terlihat lebih berkilau di sudut yang lebih cerah begini.

"Kau diam saja di perpustakaan. Biar aku yang cari dan wawancarai Daniel." Aku malah mengajukan bantuan merepotkan.

Mine melepas cekalan tangannya di lenganku. Masih memunggungi. "Tak apa. Aku mulai bosan tinggal di sana terus. Sudah ada kau ini, yang bisa menjagaku."

Dia kembali memegang lenganku dan membawaku berjalan bersamanya menuruni tangga.

Aku hanya melongo mendengarnya berkata begitu.

the fiction girl want her story [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang