Musim panas telah tiba. Cuaca menjadi langsung panas dan membuat dua orang di kamar tidur itu kegerahan sebab tak ada pendingin ruangan. Kalau pergi keluar, rasa-rasanya akan tambah panas kan karena langsung berhadapan dengan sinar matahari? Apalagi kami harus mengeluarkan tenaga ekstra karena melangkahkan kaki.
Sekolah pun sepi tak seramai biasanya karena liburan musim panas. Murid-murid yang datang ke sana hanya untuk menghadiri kegiatan klub atau kelas tambahan. Sebenarnya itu suasana yang cocok untuk diriku. Penyuka keheningan.
Mine juga, harusnya, mengingat dia semulanya menganggap para manusia berbahaya.
Tapi beda lagi kali ini. Setelah iseng mencoba mengejek-ngejek sambil menjulurkan lidah ke seorang paman-paman di pusat perbelanjaan, Mine tak lagi takut pada mereka.
Sesungguhnya dari dulu Mine yakin dirinya memang tak bisa terlihat oleh manusia lain. Mungkin karena sudah terbiasa juga. Dan sekalinya dia meledek-ledek eksistensi mereka di hadapan mereka sendiri, Mine puas sebab mereka tak membalas.
Sebagai orang berkepribadian usil, rasanya masuk akal saja gadis itu memperolehnya dari hal tersebut. Memperoleh kebebasan dari rasa takut yang terus membelenggu hati.
Dan. Sekarang. Mine. Jadi. Menyukai. Keramaian.
"Jangan ke mana-mana, ih. Aku masih mager." Dia merengek di tempat tidur seperti anak kecil gagal membeli balon. Padahal dia sudah tak menganggap rumah ini menyeramkan.
Aku berdecak sembari beranjak dari kursi. "Siapa juga yang mengajakmu."
Namun bukan Mine namanya kalau tidak mengintiliku. Meski bilangnya super malas gerak dan sedikit kelelahan (padahal sedari pagi dia tidak melakukan apa-apa), Mine tetap ikut denganku ke sekolah dan mengganti seragam.
Katanya, 'Aneh saja kalau aku memakai pakaian bebas di sekolah'. Padahal dia bukan murid sekolah situ.
Di perpustakaan nomor dua, di sana memang ada pendingin udara. Mine pun terus berkata 'Segarnya, segarnya' sembari kepalanya rebah di atas meja. Dia lalu menyuruhku membeli minuman dingin ke vending machine terdekat. Walau malas, kuiyakan saja permintaannya itu.
Koridor yang kukunjungi kosong. Tapi nampaknya saat ini di koridor lantai dan gedung manapun tetap bakalan kosong. Sekejap aku merasa seperti sedang berada di film horor.
Setelah beberapa langkah, baru ada murid yang terlihat. Lalu sialnya aku tak sengaja menyenggol bahunya yang baru tiba di lantai tiga.
"Kalau jalan lihat-lihat!"
Aku seperti sering melihatnya di beberapa cerita romansa klise yang kubaca di internet. Biasanya sehabis itu mereka akan sering bertemu, bertengkar, dan menjalin cinta. Trope enemies-to-lovers.
Hebatnya diriku sudah menguasai sedikit perihal gituan.
"Maaf. Aku jalan pakai kaki soalnya." Kusadari perkataanku agak mengesalkan begitu melanjutkan jalan. Hasilnya, sama seperti kebanyakan cerita romansa murahan yang kubaca di internet, si korban tabrakan bahu tersebut mendekatiku untuk memprotes.
Dia pasti setipe dengan Mine.
"Tidak sopan banget, sih." Bahuku dia hentikan untuk menyampaikan protes. "Kau tidak tahu siapa aku, ya?"
Kupikir tadi aku tengah mengikuti alur film horor. Tahunya komedi romantis.
Kupandangi seorang gadis seumuran Mine dan secantik Mine yang tadi melayangkan amarah padaku. Ralat, lebih cantik Mine.
Wajah garang pertanda sering marah-marah, tubuh agak berisi, rambut panjang bergelombang seperti pergi ke salon setiap hari. Wow. Tipikal gadis populer seperti Mine.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
عاطفيةada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.