Gampangnya jika mengikuti kebiasaanku, aku akan mengambil tempat tidur di kelas, atap, belakang gedung kelas dua, atau tempat-tempat lainnya untuk menghindari Mine. Aku bisa tidur dengan tenang dan tak ada yang bisa menggangguku. Tetapi kalau begitu, aku seperti merasa sedang berselingkuh. Aku sudah menerima bantuan Mine. Jika keesokan harinya aku tidak muncul di perpustakaan nomor dua, dia bisa saja menggangguku sebagai hantu.
Ah, pada intinya di mana pun aku berada sekarang, aku tidak akan bisa menjalani kehidupan dengan tenang lagi. Aku sudah bertemu dengan seorang/seekor hantu. Apa pun yang kulakukan bisa saja berujung fatal.
Jadi aku ada di situ lagi. Bersama Mine yang duduk di depanku dan wanita penjaga perpus yang telah mengganti bacaannya; kali ini pinggiran kertasnya belum menguning.
Aku menyerongkan wajahku ke kanan sambil menutup mata. Dengkuranku tidak terlalu keras, tapi mestinya cukup membuat Mine berpikir aku sedang mencoba tidur. Itu adalah imbalanku. Jadi dia tidak akan mengacau.
Namun rasanya sulit sekali tidur di saat kau tahu kau sedang diperhatikan oleh seorang gadis asing yang menyebalkan. Dua bola matanya pasti mengharapkan diriku bangun lalu menjawab segala pertanyaan tidak pentingnya. Atau meladeni dia bercerita. Yang mana pun itu, selalu ada hubungannya denganku.
Aku membalikkan kepala ke depan, melihat ke arahnya yang melihatku. Rambut sampai punggungnya terkena semprotan sinar matahari. Dan dugaanku tepat soal bola matanya yang mengharapkan kehadiranku di sana yang terbangun.
"Kau, jadi ingin mulai menulis kapan?" Dia bertanya dengan tidak sopan padahal baru kemarin dia mengajukan permintaannya. Mana mungkin aku yang seorang amatir dan pemalas ini segera melakukan kegiatan yang sangat merepotkan itu?
Karena malas bicara (mulutku tertutup lengan), aku hanya menggeleng samar saja, berharap dia mengerti. Secara tidak langsung aku juga berkata padanya untuk jangan mengajakku ngobrol; aku masih berada dalam zona tidur.
Mine memajukan bibirnya pertanda cemberut. Dasar tidak tahu diri. Kita itu baru kenal, tahu. Jadi tidak mungkin kan aku langsung bersikap sangat baik hati padanya? Justru seharusnya pada penolongnya ini dia yang harus bersikap baik hati, menjaga waktu santaiku.
Itu pun kalau pada dasarnya dia adalah orang yang baik.
Sayangnya aku jahat karena mengagungkan tidur lebih dari apa pun.
Mine beranjak. Aku kembali memejamkan mata.
Tak lama, aku mendengar suara kursi di sebelahku ditarik. Tak perlu bertanya siapa yang duduk di sana. Aku berusaha mengenyahkan pikiranku tentangnya untuk segera tidur.
"'Tanggal 3 Juli 2014. Gadis gila. Hanya itulah kata yang dapat mendeskripsikan gadis bernama Rin Moriyama. Tidak hanya dal—'"
Suaranya terhenti ketika aku mendongak. Dia sedang membuka halaman light novel Nidome no Natsu, Nidoto Aenai Kimi. Aku melihatnya yang melihatku.
"Apa?" dia bertanya polos.
"Sedang ngapain?"
"Membaca light novel."
"Kenapa di sebelahku?"
"Memangnya tidak boleh, ya?"
"Ungkapkan saja apa niatmu sejujurnya." Meski aku tahu apa jawabannya. Aku hanya ingin dia mengaku dengan tampang bersalah.
Benar. Sudut keningnya berkeringat. "Membuatmu segera menulis cerita tentangku?"
"Kenapa harus membacakan light novel?" Meski aku tahu apa jawabannya. Aku hanya ingin dia mengaku dengan tampang bersalah.
Benar. Sudut keningnya semakin berkeringat. "Agar kau mendapatkan inspirasi."
"Kau tahu itu sama saja dengan kau melanggar imbalanku, alias kau menggangguku tidur." Aku berusaha tidak meninggikan suara.
Namun kini tampang bersalahnya pudar. "Lho? Aku hanya membaca light novel. Tidak berniat mengganggu tidurmu. Dan jika kau terganggu, salahkan dirimu saja yang merasa terganggu."
Abaikan saja. Dia senang aku meladeni ucapannya.
Aku berbalik dan memejamkan mata lagi.
"'Tidak hanya dalam arti kemampuan berpikir, tapi juga karena hanya musik yang selalu ada dalam kepalanya. Tetapi, apabila dia hanyalah seorang penggila musik, tidak akan ada pihak yang dirugikan. Dan apabil—'"
"Haruskah kau membacanya keras-keras?"
"Ini memang gayaku ketika membaca light novel."
"Suaramu bisa habis, lho."
"Kebetulan sekali aku memang ingin banyak-banyak mengeluarkan suaraku agar merasa hidup."
Menyerah sajalah, Hiro.
Daripada suaranya habis dan kau akan dihantui seumur hidupmu.
"Dengar," kupandangi dia dalam-dalam. "Aku tidak mengenalmu meski aku tahu namamu. Aku jarang sekali membaca buku dan tidak punya kemampuan menulis cerita. Dan setahuku bukannya kita perlu menyiapkan ide, karakter, alur, judul, dan sinopsis sebelum membuat cerita? Kau pikir gampang melakukannya? Kau ingin agar aku yang malas melakukan apa-apa ini segera mengambil kertas dan pena lalu mulai memikirkan itu semua di hari kedua aku bertemu denganmu? Kau sama sekali tidak ingin membiarkanku beristirahat barang sehari saja?"
Wow, perkataan terpanjangku selama bertahun-tahun terakhir. Tapi pantas-pantas saja aku melakukannya pada seorang gadis pengganggu yang berusaha masuk ke dalam hidupku. Dia tidak tahu diri.
"Lalu kau akan menulis kapan?" Suaranya bergetar.
"Tidak tahu."
"Tapi kau beneran akan menulis ceritaku, kan?" Matanya berkaca-kaca.
Aku kesal padanya dan diriku sendiri. "Kau sadar tidak sih kalau kau itu merepotkan?"
Kau keterlaluan, Hiro.
Tidak aneh jika selanjutnya air mata itu meluncur dan dia berdiri dengan suara keras lalu pergi. Ke luar perpustakaan. Ke tempat di mana sebelumnya dia berkata dia tidak berani pergi ke sana karena takut ada makhluk yang macam-macam. Dia rela pergi ke sana saking sakit hatinya dengan perkataan menusukku?
Aku mengembuskan napas panjang.
Kenapa jadi begini.
Kenapa aku harus berurusan dengan gadis merepotkan dan cengeng yang mengaku tokoh fiksi? Astaga, tokoh fiksi. Padahal lebih mungkin hantu.
Pada saat itu akhirnya aku bisa tidur. Dan ketika terbangun, aku melihat ada beberapa murid perempuan yang mengobrol di meja penjaga perpus.
"Iya, tempat sampahnya berjatuhan seolah ada yang menabraknya. Tidak mungkin anginlah karena rumput-rumput tidak bergoyang. Mana lagi ada yang mendengar bunyi pintu bilik toilet perempuan ditutup dengan sangat keras. Padahal di sana tidak ada siapa-siapa."
Itu ulah hantu perpustakaan nomor dua. Dia berkeliaran dengan tidak sopan.
"Apa sekolah ini berhantu?"
"Tapi kenapa baru sekarang hantunya muncul?"
"Seseorang mungkin telah melakukan kesalahan besar. Atau kau pernah mendengar rumor tentang siswa klub sastra yang bunuh diri?"
"Ih, jangan ngomong gitu! Sembarangan kalau bicara. Aku kan jadi takut."
Mereka cepat-cepat meninggalkan perpustakaan setelah wanita penjaga perpus selesai menulis batas waktu pinjam di buku yang dipinjam keduanya.
Rasa kantukku belum hilang tapi pikiranku sudah ruwet.
Selanjutnya, aku menyusul kepergian dua siswi itu dari perpustakaan.
Aku berjalan menuju toilet perempuan terdekat. Menunggu tidak ada orang di sana untuk masuk.
Tapi sampai ke seluruh toilet perempuan yang kumasuki dan kuperiksa bilik-biliknya, sosok hantunya tidak kutemukan. Aku sampai melupakan sopan santunku masuk ke toilet perempuan demi mencari dia walau mendapatkan hasil nihil.
Astaga, Mine. Kau benar-benar merepotkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romansaada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.