"Aku pulang."
Tidak ada yang menyahut. Satu-satunya orang yang mungkin menjawabnya saat ini tengah mendekam di kamarnya. Dan akan selalu mendekam di kamarnya sampai hari berakhir.
Aku melepas sepatu, berjalan menuju dalam rumah. Tempat ini kosong, tetapi itu menjadi surga bagiku karena biarpun aku tidak langsung tidur, aku lebih menyukai kesunyian dibanding keramaian.
Aku melempar tas ke sofa, melangkah ke dapur untuk menghampiri kulkas. Bahan makanan yang tersisa di sana tinggal sayur-sayuran yang bisa dijadikan kare. Tapi aku sedang tidak mau makan kare. Kurasa aku harus belanja.
Aku pergi ke tempat kakak laki-lakiku berada. "Kenji-nii, aku akan ke supermarket. Kau mau titip apa?"
Kenji-nii sedang berkutat dengan gim di komputer. Telinganya tertutup oleh headset. Dua kakinya dinaikkan ke kursi, dan suaranya ribut sekali meneriakkan umpatan-umpatan karena teman bermain online-nya melakukan kesalahan.
Kutepuk sebelah pundaknya.
Dia langsung menoleh menghentikan aktivitas karakternya di gim petualangan yang tidak pernah ingin kumengerti. "Kau mau ke supermarket?"
Padahal tadi dia tidak mendengarku bicara. Memang intuisi seorang rakus yang malas keluar rumah untuk membeli makanan.
Aku menganggukkan kepala.
Kenji-nii menyebut merek-merek camilan favoritnya. Kemudian tubuhnya kembali dia hadapkan sepenuhnya ke komputer. "Kalau di tengah jalan tiba-tiba kau ingin buang air, jangan menahannya sampai tiba di rumah. Pergilah ke toilet umum. Mungkin saja sekeluarnya dari bilik, ada sesuatu yang akan kau temukan."
Dia membicarakan pengalamannya mencuri gitar Daniel beberapa hari lalu. Melihat barang sebagus alat musik petik bertengger di dinding sebelah bilik toilet lain, Kenji-nii malah menganggap itu rongsokan. Bilang saja alibi mencuri.
Tapi dia kakak laki-lakiku. Aku tidak akan melaporkannya ke polisi meski dia ketahuan membunuh seorang nenek-nenek sekali pun. Aku ini orangnya pandang bulu.
"Iya, siap. Jika nanti keluar dari bilik aku menemukan bayi menangis, mungkin aku akan mengambilnya juga untuk kita urus."
Kenji-nii mengacungkan jempol saat aku hendak menutup pintu kamarnya. Santai saja, kami tidak pernah bercanda soal ini.
Tanpa mengganti seragam karena itu merepotkan, aku langsung pergi keluar rumah lagi dan mengambil jalan menuju supermarket. Bahan-bahan makanan yang akan kubeli nanti akan dimasak oleh Kenji-nii untuk makan malam kami berdua.
Aku yang mengeluarkan tenaga ekstra sampai berkeringat untuk membeli bahan-bahan makanan ke supermarket, Kenji-nii yang mengasah kemampuan memasak serta ide kreatifnya untuk menghadirkan masakan-masakan enak di meja makan.
Inilah cara mengimplementasikan ilmu saling menguntungkan alias simbiosis mutualisme.
Bicara mengenai kakak laki-lakiku itu, dia seorang hikikomori. Entah sudah masuk semester berapa, sedang membuat skripsi, atau mengambil cuti, Kenji-nii hampir selalu ada di rumah dan duduk di kursi meja belajarnya ketika aku menemukannya di kamarnya.
Aku yang jarang memedulikan orang lain ini juga tidak terlalu memedulikan kehidupan kakakku. Asal saja pagi dan malamnya aku bisa memakan masakannya.
Kupikir sore itu aku tidak akan mengalami kejadian aneh. Aku sedang berada di luar sekolah, semua manusia yang hidup di sekitar sini normal tanpa gangguan kejiwaan berupa status tokoh fiksi dan penyakit terobsesi gitar. Aku sedang bebas dari mereka berdua.
Setidaknya sampai sebuah sepeda hitam meluncur ke arahku dan hampir menabrakku yang tengah berjalan.
Pengendara dan penumpang belakang sepeda itu adalah orang yang tadi kubicarakan.
Mine mengaduh begitu sepeda yang mereka tumpangi menubruk dinding pembatas halaman rumah. "Kau bisa mengendarai sepeda tidak sih, Hanekawa-kun?"
Aku tidak mau memikirkan alasan mengapa Mine yang sangat penakut terhadap dunia luar tiba-tiba datang dengan Daniel menggunakan sepeda seolah sedang bertamasya. Aku melanjutkan jalan dan hanya sedetik memandang ke arah mereka.
"Oi, Hiro. Dia ingin bertemu denganmu! Tanggung jawab aku jadi terluka begini!" Daniel meneriakiku dari belakang sana. Tapi memangnya dia perempuan sampai bersikap manja begitu?
Dan tentu saja pada saat-saat seperti itu aku akan menulikan pendengaran.
Namun Daniel adalah seorang laki-laki yang pantang menyerah. Giliran tubuhnya yang dia gunakan untuk menubruk punggungku hingga aku nyaris terpelanting ke depan.
"Aku kerepotan dia teriaki terus karena ingin pergi ke tempatmu." Wajah Daniel menunjukkan amarah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kalau saja dia tahu pencuri gitarnya adalah kakak laki-lakiku, pasti aku sudah dimusuhinya.
Diam-diam aku mengelus dada pertanda kelegaan.
Bola mataku kemudian tertuju ke arah si gadis penakut. "Jangan bertingkah aneh terus dong, Mine. Cukup di sekolah saja kau mengganggu waktu-waktu tidurku."
Bibir gadis itu cemberut. "Bertingkah aneh bagaimana? Aku cuma ingin menemuimu."
"Pada orang yang tidak ingin ditemui." Aku melenggangkan kaki lagi meninggalkan dua manusia gila tersebut. Namun kali ini yang menyusulku adalah Mine.
"Mau pergi ke mana?"
"Ke neraka."
Gerak langkahnya terhenti. Lalu mengejarku lagi. "Aku ikut."
"Kau akan disiksa menggunakan kapak berduri, lho."
"Tidak masalah. Akan kurayu para penyiksanya agar menyiksamu lebih kejam."
Tumben sekali dia membalas kata-kataku. Tapi dengan begini aku jadi tidak bisa menghentikan Mine.
Sudahlah.
Dia hanya harus diam sepanjang perjalanan dan berbelanja.
Tapi Mine tidak pernah tidak diam sepanjang ingatanku berkenalan dengannya.
"Shiragami-kun, kau tinggal di mana?"
"Shiragami-kun, ada siapa di rumahmu?"
"Shiragami-kun, kau memasak sendiri atau membeli makanan di konbini?"
"Shiragami-kun, bolehkah aku tinggal—"
Aku melempar kedua tangan ke depan tubuh. "Kalau kau mendiamkan mulutmu sedetik saja, aku berjanji akan membelikanmu apa saja di supermarket."
Mine menanggapinya dengan senyuman kekanakan. Aku jadi harus mengeluarkan uang lebih banyak. Dasar gadis tidak tahu diuntung.
Sepanjang berjalan melewati orang-orang, Mine masih tampak ketakutan meski tidak separah kemarin-kemarin. Yang lebih membuat repot sampai aku merasa tubuhku sesak karena merasa terimpit, Mine terus berdiri tepat di samping belakangku seolah berlindung.
Aku mengembuskan napas sangat panjang. "Kalau takut, kenapa kau malah berkeliaran?"
Mine menatap mataku lalu kembali lurus ke depan. Tapi dia tidak menjawab apa-apa.
Dan dia tidak menjawab apa-apa sampai kami tiba di tempat parkir supermarket. Aku mengembuskan napas lagi, benar-benar lelah. "Jawablah. Aku tetap akan membelikanmu apa saja asal yang murah dan cuma satu barang."
"Aku sudah pernah bilang kan bahwa aku bosan tinggal di perpustakaan terus?"
"Bukan berarti kau bisa langsung berkeliaran ke luar sekolah begini. Berbahaya itu namanya."
"Kau mengkhawatirkanku?"
"Mengkhawatirkan diriku sendiri karena tidak mau kau repotkan."
"Tapi kerjaanku sehari-hari memang merepotkan Shiragami-kun terus, kan? Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan?"
Aku menatap dirinya yang berdiri di sebelahku. Dia menatapku juga dengan bibir terkatup.
Ekspresi kami berdua sama-sama lurus.
Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar dikalahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romanceada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.