Satu detik setelah aku membelokkan kaki untuk pergi ke kamarku di sebelah, pintu yang sedang kutatap itu terbuka, memunculkan sosok Mine dengan wajah basahnya akibat menangis di tengah ruangan gelap kamarnya.
Seringnya kami bertengkar, aku tidak ingat apa perkataan kejamku padanya pernah membuat Mine menangis atau tidak. Tetapi ketika kutemui air mata itu turun karenaku, hatiku seperti teriris sampai tak sanggup memandanginya lama-lama.
Aku mengalihkan tatapan. "M-maaf. Seharusnya aku tidak mempermainkanmu seenaknya di dunia yang kubuat sendiri, dan dunia tempatmu kembali nanti."
Untung saja aku bukan seseorang yang kesulitan mengucapkan maaf. Aku memang mempunyai harga diri yang sedikit tinggi, termasuk di hadapan Mine. Tetapi untuk masalah ini, kuakui kelakuanku memang keterlaluan hingga tak aneh Mine sampai menangis.
Mine menundukkan kepala. Langkah majunya membuat ujung kepalanya menempel di dadaku. Aku tidak mengerti dengan sikapnya ini.
"Sebagai manusia yang ingin kembali ke dunia tempatnya berasal, aku tahu harusnya aku tidak mengatakan ini." Suara Mine yang lirih terdengar jelas di keheningan dan kegelapan lorong lantai dua rumahku.
Aku mendengarkan.
"Kita sudah menyepakati ide ceritanya. Aku menyukai secara diam-diam laki-laki keren dari kelasku. Kau tidak salah selama mengetik tadi dan biarpun diriku kau buat nelangsa, kupikir itu sudah biasa mengingat kita selalu bertengkar. Aku sadar diri aku tak boleh berharap kau akan melihat dan menilaiku lebih baik. Wajar saja kau memperlakukanku begitu meski di dunia tulisan sekali pun."
"Kau bicara apa sih, Mine?" Nada bicaraku ikutan melirih. Tapi ucapannya memang seperti gurauan, alias sangat tak jelas.
Kusadari bagian depan bajuku sudah basah karena tangisan Mine. Di situ aku baru menyadari ternyata memahami perempuan apalagi yang sedang menangis itu merepotkan. Atau, aku tidak paham dengan satu pun ucapannya.
Ingat, aku ini sangat buta perihal hal yang sangat Mine sukai. Romansa.
"Shiragami-kun." Akhirnya dia menyebut namaku. "Aku tak suka melihatmu menulis soal diriku yang menyukai laki-laki lain. Aku tahu aku harus tegar soal ini agar aku bisa kembali ke tempat asalku. Tapi, ternyata itu menyakitkan."
Mine melepas wajahnya dari dadaku, melanjutkan tangisan yang mungkin semakin luruh akibat perkataannya tadi. Yang tak kumengerti. Yang tak kumengerti.
Tolonglah. Dia seharusnya tahu aku tak pandai mengenai ini.
"Maaf." Mine menghapus air matanya sendiri. "Shiragami-kun tidak salah apa-apa. Aku saja yang terlalu terbawa perasaan sampai menangis segala."
Memangnya, menangis itu salah, ya?
"Lanjutkan saja apa yang sudah kau ketik tadi. Aku serahkan semuanya ke Shiragami-kun asal ceritaku cepat selesai dan aku bisa segera pergi meninggalkanmu."
Pergi meninggalkanku sendirian di lorong gelap lantai dua rumahku begitu pintu itu dia tutup tepat di depan wajahku.
Huh.
Kenapa aku merasa ada yang salah di sini?
Besoknya hari libur. Semalam aku sedikit kesulitan tidur entah memikirkan apa dan bangun kesiangan. Meski begitu Kenji-nii tak pernah marah atau membangunkanku cepat-cepat untuk segera sarapan. Memangnya dia ibuku? Porsiku tetap dia buatkan.
Selesai sikat gigi dan membasuh wajah, aku melihati pintu kamar Mine yang tertutup. Apa dia sudah sarapan?
Kutanyai Kenji-nii mengenai ini.
"Sudah. Tapi masih kelihatan murung seperti kemarin," konfirmasinya. "Mungkin gara-gara kau tidak ada di meja makan."
Justru gara-gara perbuatan tak pantasku kemarin malam padanya. Mood Mine gampang berubah-ubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romanceada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.