Ada yang menempati kursi dan meja kami di perpustakaan nomor dua siang itu. Empat orang. Tiga perempuan satu laki-laki. Manusia-manusia ekstrover.
Perpustakaan yang mestinya sunyi agar tak memecah konsentrasi pengunjung yang sedang membaca, mereka hancurkan dengan obrolan remaja mereka yang memekakkan telinga.
Aku pergi ke sini selain untuk mengadem dan tidur, juga ingin melanjutkan bacaan. Bukunya kusimpan di sini, tidak membawanya ke rumah karena penjaga perpus tak pernah meladeniku yang hendak meminjam buku.
Tapi Mine beda lagi. Dirinya yang sudah cukup lama tidak bertandang ke markasnya ini terkejut tak percaya melihat orang lain menempati wilayahnya tersebut. Dia mungkin kangen dengan kebiasaan-kebiasaannya berdiam diri di perpustakaan nomor dua dan bercengkerama denganku.
Dan sekarang harus gagal.
Aku menatapnya dari samping, sedikit menunjukkan simpati. "Mau bagaimana?"
Mine menundukkan pandangan. Ada seberkas gelap yang menyelimuti wajahnya. Dia lalu berbalik ke arah pintu. "Cari tempat lain saja."
Ide yang bagus mengingat aku dan Mine tak pernah berduaan di tempat lain di sekolah selain perpustakaan nomor dua dan kelasku. Kami membutuhkan suasana baru. Kejadian ini adalah anugerah bagiku.
Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku, menghindar dari tangan Mine yang barangkali akan menggenggamnya. Tapi dia sudah terlihat murung saja atas peristiwa tadi. Mau tidak mau aku harus menghiburnya.
"Sudahlah," kurangkul bahunya, "masih banyak tempat yang menunggu kita datangi berdua."
Dengan mudahnya juga raut wajah Mine berubah menjadi secerah matahari musim panas. Tampak seperti anak kecil sekali.
Kupandangi dirinya dari samping. Senyum Mine yang saat itu terukir setidaknya dapat sedikit menghangatkan hatiku yang tengah dilanda kegundahan.
Gadis ini terlihat begitu rapuh. Air matanya mudah turun, rasa kesalnya sulit dia sembunyikan, seperti... biarpun manusia-manusia yang dulunya dia anggap berbahaya yang pada kenyataannya tidak berbahaya, Mine sangat bisa tersakiti oleh mereka.
Sekali lagi, gadis ini terlihat sangat rapuh.
Membutuhkan perlindungan, penjagaan, serta kehadiranmu di sisinya.
Dulu Mine adalah pengganggu bagiku, sama seperti status Junko saat ini di mataku. Namun sekarang aku ingin membahagiakannya. Untuk seseorang yang selalu ingin kusematkan senyum pada bibirnya, rasa aman pada hatinya, dan tertawaan lepas tanpa beban di pundak.
Harus mengikuti perkataannya atau instingku atau yang terbaik?
Kata Mine kemarin, dia tak ingin pergi dariku. Menurut pengamatanku, akhir-akhir ini Mine memang terlihat bahagia saat bersamaku. Dan jika menilik yang terbaik, aku harus kembali menulis cerita itu untuk mengembalikan Mine ke tempat seharusnya dia berada. Dan itu bukan di sini, di sampingku.
Kuembuskan udara ke rambut bagian depanku.
"Hiro-kun!" Mine menunjuk diriku dari depan kelas. Kelas yang kosong. Aku duduk di salah satu bangku sana, di tengah. "Coba sebutkan rumus volume tabung."
"Avertebrata adalah hewan yang tidak memiliki tulang belakang."
"Tet. Tot. Kok jadi bahas pelajaran Sejarah, sih."
Ya ampun, betapa pandainya dia memainkan peran seorang guru.
Kupasang muka remehkan ke arahnya sekaligus menyimpan lengan di bangku belakang. Posisi dudukku sudah seperti murid pembuat onar. "Mine-sensei. Tolong ajarkan aku cara membahagiakanmu dong."
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romansaada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.