Mine masih tidak hadir di meja makan pada sarapan berikutnya. Kondisi demamnya memang tidak lantas bisa langsung berangsur membaik meski aku mengharapkan wujudnya dapat aku lihat pagi itu ketika sarapan.
Aku lalu berinisiatif membawakan makanannya ke kamar tidurnya.
Ingat, Mine tidak tahu kalimat yang dia ucapkan padaku semalam.
Cukup menjadi rahasiaku saja.
Aku menelan ludah sebelum kuketuk papan penghalang ruangan itu dengan telunjuk. Terdengar sahutan perintah masuk samar dari arah dalam.
Pintu itu kubuka, aku mulai heran mengapa Mine suka sekali berada di ruangan yang gelap tanpa lampu tidur dinyalakan atau gorden jendela dibuka.
Kayak lagi patah hati saja.
Mine tidak tahu tentang yang dia ucapkan semalam.
Aku menelan ludah lagi sambil berharap nampan yang bergetar ini tidak Mine sadari.
Kusimpan semangkuk nasi hangat dan sup miso buatan Kenji-nii ke atas kasurnya. Pandangannya langsung tertuju ke sana, lalu pada mukaku yang kelihatan sedikit kikuk.
Dilihatnya aku yang belum memakai seragam. "Belum siap-siap?"
"Nanti saja." Aku tak mau seragamku ketumpahan tetes sup miso jika nanti dia menyuruhku menyuapinya.
"Oh," responsnya, datar dan pelan sebab masih dalam kondisi tak enak badan. Memangnya apa yang kuharapkan?
Mine mengambil mangkuk sup miso dan memakannya seperti biasa, tidak tampak kesusahan. Ya ampun, memangnya apa yang kuharapkan, sih?
Aku melihatinya yang sedang makan dengan anteng. "Kau tidak perlu mencariku kemarin. Aku pasti pulang."
Diriku hanya dia lirik sebentar. "Kau selalu lupa dengan perkataanku atau bagaimana? Bukankah aku pernah bilang bahwa rumah ini terasa menyeramkan jika tidak ada kau di dalamnya?"
"Ya kau kan bisa tidur untuk membunuh waktu. Daripada keliaran bertemu manusia-manusia berbahaya lain hanya untuk hasil nihil karena tidak menemukanku?"
Mulutnya berdecak. "Kau tidak tahu apa yang kurasakan."
Tahu. Kau sudah menyebutnya semalam hingga membuatku susah tidur.
Aku mengusap-usap belakang leher. "Terus sekarang bagaimana? Mau ikut aku ke sekolah? Kau kan sedang sakit, Mine."
Mungkin karena ucapanku yang tak sengaja kubuat lembut, Mine menyunggingkan senyumnya seperti seorang gadis yang menerima sebatang bunga dari lelaki incarannya. "Kau mengkhawatirkanku?"
"Iya."
Kukatakan saja karena memang itu perasaanku yang sejujurnya.
Mine melotot tak percaya. Kentara sekali perubahan wajahnya ke tahap salah tingkah. "Ya—ya, menurut Shiragami-kun, aku harus bagaimana?"
"Tunggu di sini... sampai aku pulang."
Aku berbisik ke telinganya yang kontan menyebabkan tubuh Mine tak bergerak. Namun posisiku terlalu ke kiri hingga hampir saja aku mencium pipinya.
Kami berdua terkesiap.
Aku pun cepat-cepat pergi dari hadapannya menuju toilet untuk kupandangi perubahan wajahku seperti saat itu. Benar, telingaku merah lagi.
Astaga, aku benar-benar tak pandai soal hal ginian meski semalam aku berselancar di internet tentang 'hal yang harus kau lakukan untuk menyenangkan hati seorang gadis yang menyukaimu'.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romanceada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.