6. ada yang bisa melihatnya lagi

18 4 25
                                    

"Tumben sekali kemarin malam Bluki menggonggong ke sepasang ibu dan anak yang baru masuk ke kedai yakimeshi. Kupikir dia sedang badmood."

Kirisaki-san memulai cerita tentang anjing peliharaannya. Aku setia mendengarkan meski tak masuk wilayah mereka.

"Anjing bisa badmood juga, ya?" Mayaka-san menimpali sambil menyedot susu kotaknya.

"Kau ini bicara apa. Ya bisalah." Himeko-san berkata dengan wajah malas. Dia sudah menghabiskan kotak bekalnya. "Bertengkar dengan kucing atau anjing tetangga misalnya."

Aku melihat ke arloji. Lima menit lagi sebelum waktu pelajaran dimulai.

Hari ini aku sengaja berlama-lama di kelas setelah sebelum-belumnya seringkali langsung meninggalkan kelas menuju perpustakaan. Aku merindukan suasana ini. Padahal belum satu bulan Mine mengganggu rutinitasku. Tapi aku sudah rindu saja. Bukan ke Mine tentunya.

Begitu aku sampai di perpustakaan, Mine menyambutku tepat di muka pintu. Wajahnya ngambek seolah meminta penjelasannya. Omong-omong sudah berapa menit dia berdiri di sana untuk menunggu kedatanganku?

"Kau ke mana saja?" tanyanya, berpikir mungkin aku pergi ke Perancis dulu untuk membeli macaroon.

"Memangnya aku terlihat seperti murid yang sering nongkrong dan berkeliaran?" sergahku. Tapi kenyataannya memang begitu sih, walau tujuannya untuk tidur.

Aku ingin menggodanya dengan pertanyaan seputar rindu padaku makanya dia terlihat berdiri begitu di depan pintu seolah menunggu. Tapi aku tidak mau dikatai kegeeran, jadi tidak jadi.

Tanpa repot-repot menjawab pertanyaanku, dia membalikkan badan masuk ke bagian tengah perpustakaan. Gayanya congkak sekali.

Aku mengikuti.

Proses cerita yang kami buat sudah masuk ke tahap karakter. Selain Mine yang ciri-cirinya sama persis dengan Mine sungguhan di dunia nyata (meski kenyataannya dia tokoh fiksi) karakter lawan mainnya adalah seorang laki-laki tenang dan dewasa bernama Futaro.

"Ganti saja deh, jangan tenang dan dewasa. Kalau begitu sih jadi mirip aku." Mine mengatakannya dengan sangat percaya diri seakan dia benar-benar tenang dan dewasa. Padahal hanya wajahnya saja yang menunjukkan begitu.

Aku memikirkan perkataannya sesaat. "Ada benarnya. Biasanya pasangan akan cocok jika memiliki sifat yang berkebalikan. Saling melengkapi."

"Nah. Betul kan, aku ini tenang dan dewasa?"

Bola mataku tertarik ke arahnya. Mine senyum-senyum menampilkan ekspresi yang dibuat-buat. "Sebenarnya wajahmu cenderung kalem. Tapi raut mukamu justru seringnya menampakkan sebaliknya."

Dengan cepat Mine kembali memandangku tak suka. "Salahkan dirimu yang hobi sekali membuatku kesal."

"Bukankah kau sendiri yang mudah terbawa perasaan?"

"Ya itu karena diriku yang lelah dengan kesendirian yang terus-menerus ini. Perasaanku jadi lebih sensitif. Apalagi harus bertemu dengan orang sepertimu."

"Memang siapa juga yang ingin bertemu denganmu."

"Tapi kita ditakdirkan untuk saling bertemu, kan? Jadi ya sudah, terima saja."

Setidaknya meski masih bertengkar, pertengkaran kami mengindikasikan pertemanan. Ah, geli sekali mengatakannya.

Aku belum benar-benar menganggapnya teman omong-omong. Karena aku tidak butuh teman. Maka dari itu sial sekali dia harus bertemu orang sepertiku.

Tolong maafkan laki-laki yang tak tertarik dengan pertemanan ini, Mine.

"Kau, tak punya teman lain untuk dijadikan referensi?" Mine bertanya di tengah topik pikiranku seputar pertemanan. Pas sekali.

Aku berdeham, entah kenapa merasa malu mendapat pertanyaan ini. "Jika anggota kelas bisa dikatakan sebagai teman, maka aku punya 19 teman."

Satu sekon, Mine tertawa. Kencang. Sekali lagi sangat berkebalikan dengan wajah dewasanya.

"Sudah kuduga tak ada yang bisa diharapkan dari laki-laki penyendiri sepertimu," ejeknya, akhirnya menemukan momen untuk menghinaku. Untungnya aku tidak sakit hati. Perasaanku kebal terhadap hal semacam itu.

Bisa saja aku membalasnya dengan 'Daripada kau yang tak bisa dilihat siapa pun'. Tapi karena aku sedang tak mood meladeni perang, aku diam saja menerima segala bentuk ejekannya untukku.

"Cari teman dong mumpung bisa dilihat orang lain. Jangan kayak aku," katanya.

Aku mengangkat bahu. "Sudah, walau cuma satu orang."

Kembali kudapati pipinya yang merona merah.

Padahal yang kumaksud bukan dia.

Nanti saja aku ceritakannya.

Namun tanpa kuceritakan pun, orang yang kumaksud itu tahu-tahu saja muncul di perpustakaan nomor dua. Dia membawa gitarnya yang biasa. Mengangkat sebelah tangan, menyapaku. "Hiro. Lama tak bertemu."

Laki-laki itu duduk di meja baca perpustakaan yang paling dekat dengan meja penjaga. Dia lalu memetik-metik senar gitar, wajahnya fokus melihati alat musik itu.

"Kau kenal dia?" Mine bertanya penasaran.

Aku mengangguk. "Tidak mungkin tidak kenal kalau sudah berani memanggilku dengan nama depan."

Tanpa perlu menengok pun, Mine sepertinya jengkel. Tetapi kemudian, dia seperti kedapatan ilham. "Hiro. Nama depan. Ah!"

Sial.

"Ah tapi kenapa aku harus mengetahuinya dengan cara seperti ini. Aku ingin kau sendiri yang memberitahukannya padaku!" Dasar keras kepala.

Aku menggeleng-geleng tak mengerti, kembali melihati Daniel di ujung sana. Dia suka nongkrong di sini atau bagaimana? Kenapa aku baru melihatnya sekarang?

"Omong-omong kenapa kau ke sini, Hiro?" Daniel bertanya sembari masih memetik-metik senar gitar.

Spontan aku melirik ke Mine yang menjadi satu-satunya alasan mengapa aku terus berkunjung ke sini. Tapi akan terdengar aneh jika aku berkata jujur mengingat gadis itu yang tak bisa dilihat siapa pun kecuali aku.

"Kau kenal dia? Gadis yang sering berdiam diri di perpustakaan nomor dua."

Aku termangu. Mine juga. Sama-sama terus memandang ke siswa lain yang berada di tempat ini selain kami berdua.

"Maksudmu?"

"Kau sedang mengobrol dengannya, kan? Itu berarti kau kenal dia." Dia menjawab pertanyaannya sendiri.

Tapi tunggu. Apa.

"K-kau bisa melihatku?!" Mine mulai bereaksi berlebihan. Berdiri sambil menggebrak meja.

Tapi Daniel tampak tak terpengaruh. "Bisa melihatmu gimana. Kau kan sering berdiam di pojokan kayak hantu."

Mine sudah berada di meja yang sama dengan Daniel. Masih terkejut tak percaya. "Kenapa kau baru bilang sekarang!"

Karena suara Mine yang keras itu, Daniel kemudian mengangkat pandangannya, terlihat sedikit terganggu. "Apa sih maksudmu. Kita kan tidak saling kenal. Ya wajar kan kalau aku tidak mengajakmu bicara."

Mine akan sakit hati. Perkataan Daniel ternyata lebih menusuk daripada aku! Pantas kami berteman.

Diam-diam aku menahan tawa.

Mine kembali ke mejaku. "Sudahlah, dia lebih tidak bisa diajak kompromi." Mukanya sedih bercampur pasrah. "Cukup satu orang menyebalkan saja yang mau tak mau harus kuhadapi dan kujadikan teman bicara."

Meski menghinaku lagi, anehnya aku sama sekali tidak keberatan. Malah aku merasa menang dari laki-laki keren yang memang keren itu dengan gitar yang selalu dibawanya. 

Aku jadi percaya diri.

Itu kuwujudkan dengan senyumanku yang kutunjukkan ke Mine. "Berarti, aku lebih baik darinya, kan?"

"Yah. Tidak ada pilihan lain." Mine menyangga sisi kepalanya menghadap keberadaan Daniel. "Tapi kalau dilihat, dia keren juga sih. Aku jadikan dia referensi Futaro saja gitu, ya?"

Aku langsung menolak usulannya.

the fiction girl want her story [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang