Aku menjadi sering bahagia akhir-akhir ini. Dan sedikit tak mau kuakui ini, bahwa alasan terbesarnya adalah keberadaan sesosok gadis fiksi rupawan yang tak pernah absen hadir di sampingku.
Saat tidur aku memang sudah bahagia. Semakin lama dan banyak waktu tidurku, berarti kebahagiaanku pun meningkat. Cuman jenis bahagianya itu berbeda, lho. Jika ketika tidur aku merasa tenang, maka saat melihat Mine duduk di kursi perpustakaan itu, di kursi meja makan itu, sofa depan televisi, atau tempat tidur kamarnya, aku merasa dunia sedang baik-baiknya ke si lelaki penyendiri ini.
Siapa yang menyangka di hidupku yang sudah cukup dengan kemonotonan, takdir memberi warna cerah ke keseharianku dengan memunculkan Mine, gadis yang anehnya aku cintai.
Seorang Hiro jatuh cinta. Ke gadis hiperaktif lagi. Aneh-aneh saja.
"Hiro-kun." Mine duduk di kursi depan mejaku. Kelas masih sepi sebab aku datang kepagian. "Sebelumnya kau pernah jatuh cinta?"
"Tidak ingat."
Mine mengangguk-angguk maklum. "Sangat bisa dipahami," katanya. "Atau, pernah ditembak seorang gadis?"
Kedikkan bahuku menjawab pertanyaannya.
Kembali kepala itu terangguk-angguk. "Padahal Hiro-kun tidak buruk-buruk amat."
"Maksudnya?" Aku meliriknya.
Dia menahan tawa. "Bagi Hiro-kun, kau pasti merasa dirimu kurang dalam segala aspek, kan?" Sebelah alisnya terangkat. "Tapi sesungguhnya tidak begitu, lho."
Ekspresiku masih menyuruhnya melanjutkan jawaban.
"Meski sangat cuek, Hiro-kun itu lucu. Kau mengungkapkan kata-kata yang seharusnya terdengar biasa saja dengan gaya bicaramu yang malu-malu. Itu lucu tahu!"
Lantas kalau lucu apa? Aku akan mendapatkan uang?
Namun tetap saja kalimat yang kuanggap pujian itu membuat dadaku berdebar. Aku mengalihkan pandangan ke jendela luar guna menghindari tatapan menggodanya.
"Berhenti puji-puji aku terus." Aku bergumam di tengah telapak tangan yang hampir menutupi mulut.
"Lho." Mine menggerak-gerakkan kursi milik murid lain tersebut. "Hiro-kun memang layak dipuji. Karena," kepalanya sedikit tertunduk, "Hiro-kun telah menyelamatkanku."
"Aku tidak menyelamatkanmu. Aku tidak menulis cerita itu lagi karena suruhanmu. Aku tidak membantu apa-apa."
"Yakin?"
Sedikit-sedikit bola mataku bergerak ke arahnya. Mata Mine berkaca-kaca.
"Yakin alasannya hanya karena itu? Hanya karena aku menyuruhmu berhenti menulisnya? Bukan karena...."
"Iya. Karena aku tidak mau kehilanganmu juga."
Mine bangkit dari posisi duduknya, lalu mengambil duduk lagi di kursi yang sama denganku.
"Mine. Sempit."
"Biarin." Kepalanya sudah rebah di bahuku. "Aku mau tinggal di sini saja terus, sama Hiro-kun."
Begitu pun aku.
Langit cerah sebelum pelajaran terasa lebih indah ketika kau tahu gadis yang kau cintai sedang tertidur di bahumu.
Aku tersenyum. Mengelus-elus rambut panjang keabuan Mine.
Saat itu aku kepikiran suatu hal. Jika Mine bukan gadis fiksi, dengan kepribadiannya yang seperti itu, bisa bersosialisasi dengan teman sekelas, kira-kira dia akan menjadi jenis siswa yang seperti apa?
Masuk geng cewek terkenal? Sering mampir ke kelas sebelah? Ditaksir banyak kakak kelas? Masuk klub paduan suara atau OSIS?
Yang jelas, dengan wajah cantiknya itu dan kemampuan bersosialisasi tak minim, Mine akan menjadi siswa yang disukai banyak orang. Kecuali aku. Si penyendiri yang tidak mau terlibat dengan masalah sekecil apa pun, dan tidak mencolok. Kecil kemungkinan Mine akan suka padaku meski dia bilang aku ganteng.
Dengan status seperti itu, Mine bahkan bisa menjadi pacar kakak kelas paling digandrungi gadis-gadis. Mine memang semenonjol itu.
Sialan. Gara-gara memikirkan semua itu, aku menjadi sedikit cemas.
Bagaimana kalau Mine direbut laki-laki lain? Bukannya tidak mungkin kan ada manusia lain yang bisa melihat Mine dan jatuh cinta padanya. Apalagi Mine terlihat sangat menarik jika dilihat dari fisiknya saja.
Jangan-jangan Daniel atau Kenji-nii menyukai Mine?
"Jangan jauh-jauh dariku, ya."
Kubisikkan kalimat itu pada wajah tidurnya yang diam-diam menenangkanku. Mine terlihat seperti malaikat yang sayapnya menghilang begitu tak sengaja mendarat di perpustakaan nomor dua sekolahku.
Aku beruntung tak sengaja menendang tubuhnya di bawah meja saat itu.
Terima kasih pada diriku berminggu-minggu lalu yang telah sabar menghadapi sikap kekanak-kanakkannya. Meski tetap sering menjaili, sekarang Mine menjadi lebih berani menghadapi apa pun di depannya.
Mine telah menjadi dewasa sesuai wajahnya yang menunjukkan kedewasaan.
"Langsung pulang saja, yuk." Aku menarik lengannya yang hendak berbelok menuju gedung perpustakaan nomor dua. Walau kini dia tinggal di rumahku, tempat itu masih menjadi markas bagi gadis fiksi itu.
"Kenapa? Aku masih ingin memandangi langit."
"Dari kamarmu kan bisa."
"Kedekatan kalian ternyata cukup membuatku iri." Daniel tiba-tiba muncul di hadapan kami lengkap dengan tas gitarnya. "Nggak akan ke perpustakaan?"
Kulewati dirinya sambil membawa Mine mengekor di belakangku.
"Hei, Hiro. Kenapa, sih?" Dia berbalik mengikuti arah kepergian kami.
Tapi tak kugubris omongannya yang kurang penting. Kami melanjutkan jalan ke parkiran sepeda agar bisa segera pulang.
Di rumah pun, Kenji-nii langsung menyambut kami di ruang televisi. "Duduk di sini. Ayo kita nonton Star Wars!"
Aku mengabaikan keantusiasan Mine dengan membawanya langsung ke kamarnya. Sesampainya di sana, aku menutup pintu, meletakkan tas, lalu mendorong bahu Mine untuk duduk di atas kasur, sementara aku di bawahnya setengah berjongkok memerangkapnya.
"Hiro-kun kenapa, sih?"
Jelas saja sang objek pun akan menaruh curiga pada diri seseorang yang tiba-tiba ingin menjaga gadisnya lebih aman.
"Apa aku boleh serakah?" Kuucapkan itu dengan pelan karena aku pun bingung akan sikapku sendiri.
Mine tidak menjawab, anteng memandangiku bingung.
"Aku tahu kau tidak bisa dilihat laki-laki lain selain aku, Daniel, dan Kenji-nii. Meski begitu, kau... tidak boleh suka laki-laki lain, ya?"
Walau aku tidak sedang menatapnya, kuyakin keningnya berkerut.
"Aku jatuh cinta padamu. Kau milikku. Kau tanggung jawabku. Akan kujaga, kutemani, dan kulindungi dirimu selalu makanya kau jangan beralih ke laki-laki lain ya, Mine?"
Bodoh.
Berani-beraninya kau berekspresi berlebihan begitu, Hiro!
Kau sudah tak punya muka lagi di hadapan gadis yang kau suka sendiri.
Namun hasilnya Mine malah tertawa-tawa melihat aksi tak jelasku yang berbuat bodoh atas dasar perasaan cinta.
Bodoh.
Hiro bodoh.
"Kenapa Hiro-kun jadi posesif begini." Gadis itu menyeka air matanya yang keluar dari sudut mata.
Eh. Ini namanya posesif, ya?
Dia lalu tiba-tiba menangkup pipiku lagi seperti berhari-hari lalu. "Mana mungkin aku suka ke laki-laki lain sementara laki-laki di hadapanku ini sikapnya sangat lucu sampai membuatku ingin menikahinya."
Apa? Menikahi?
Mine melepas tangannya dariku dengan grogi. "Tolong lupakan kata terakhir yang kuucap tadi."
Oh.
Tapi. Demi apa pun yang ada di dunia ini, demi perasaan cintaku yang semakin menggila, aku tidak akan pernah melupakan kata-kata terakhirnya.
Aku akan menebusnya ketika kami dewasa nanti!
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romantizmada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.