Gadis itu sudah tenang; menelungkupkan tangannya di atas meja perpustakaan di hadapanku. Aku tidak ingin berada di situ, tapi aku tidak mungkin meninggalkan sendirian seorang gadis yang menangis terlebih itu karenaku—mungkin.
Ketika mengangkat wajah, hanya ada sedikit air mata di sudut-sudut mata dan pipinya. Wajahnya pun hanya sedikit memerah. Dia menangis dalam diam.
Kembali menyembunyikan wajah. "Tolong lupakan bagaimana tadi aku bersikap padamu."
Yang mana? Yang kekanakan, cerewet, atau banyak drama?
"Aku sudah lama sekali tidak mengeluarkan suaraku. Jadi sekalinya ada seseorang yang bisa kuajak bicara, segala yang ada di hati dan pikiranku tertumpah begitu saja dengan seenaknya." Perkataannya penuh dengan penyesalan. "Jadi maafkan aku jika tadi aku membuatmu terganggu."
"Aku maafkan." Meski sejujurnya dia tidak perlu sampai meminta maaf segala. "Tapi apa kau berjanji tidak akan muncul lagi di hadapanku?"
Wajahnya terangkat lagi dengan cepat. "Tentu saja tidak mungkin," dia sampai berdiri dari duduknya dan menghasilkan suara berisik dari kursi yang tergeser kasar.
Menyadari itu adalah sebuah sikap yang tidak tenang, dia kelihatan malu, lalu kembali duduk dengan rapi dan sigap.
"Kau orang pertama yang bisa melihatku," gumamnya. "Bisa menyentuhku, dan bisa kusentuh. Kehadiranku di sini akhirnya bisa disadari oleh seseorang."
"Sekali lagi kujawab tidak. Aku tidak bisa melihatmu."
Biar saja dia menganggapku bodoh, yang penting masalah selesai.
Dia merengut kesal. Lalu mengulurkan tangannya melewati meja. "Aku Naoe Mine, dan kau harus memanggilku Mine."
"Baik, Naoe-san."
Dia menepuk jidatnya seolah menyesal telah menyebut namanya secara lengkap. "Namamu siapa?"
"Nemure."
"Hah?"
Tidak mungkin kan aku menyebut namaku padanya? Daripada harus mengambil risiko, lebih baik memberi julukan pada diri sendiri saja.
"Aku selalu tidur di mana saja saat di sekolah. Jadi kau panggil saja aku Nemure." Bicaraku lurus sangat menunjukkan ketidaktertarikan. Semoga dia menyerah.
Namun raut mukanya kembali memperlihatkan tangisan yang siap keluar dari mata merahnya. Bibirnya pun menekuk dalam.
"Baiklah, baiklah." Ternyata aku orang yang tidak tegaan. "Aku Shiragami."
"Aku menginginkan nama depanmu!"
"Nanti saja. Kita kan baru kenal."
Penyebutan kata 'kita' yang tak sengaja kuucap menghasilkan ekspresi keriangan di wajahnya. Astaga, apa dia tertarik padaku hanya karena aku bisa melihatnya?
Selanjutnya dia memintaku duduk di sampingnya karena dia akan menceritakan lagi tentang dirinya. Aku keberatan, menampakkannya dari alisku yang mengernyit dalam.
Seharusnya ini adalah jam tidurku. Tetapi kenapa pula aku harus berurusan dengan drama yang dibuat oleh seorang gadis cengeng yang menganggap dirinya hantu. Aku merasa ini tidak akan baik-baik saja.
Akhirnya aku duduk di sampingnya juga. Mine mengelap sisa-sisa air matanya sambil menunduk. Tangannya disimpan di pangkuan. Irama napasnya terlihat stabil meski mungkin ada berbagai macam gejolak yang tengah dia pendam di hatinya.
"Sudah dua minggu aku terdampar di sini."
Kalimat pembukanya langsung membuatku terkejut meski tidak ingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romansada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.