Junko tidak menyadari dirinya tidak terlihat oleh manusia-manusia lain karena dia menganggap dan membayangkan dia disukai dan dipuja-puja teman-teman yang sejujurnya dia tidak punya.
Daniel, sama seperti diriku, dia tidak begitu memedulikan pandangan orang terhadapnya. Daniel menganggap dia sama seperti manusia lainnya yang hanya tidak disapa dan menyapa saja. Mana lagi dia punya pacar yang berupa alat musik petik.
Aku. Tidak usah ditanya. Aku lebih tidak peduli lagi dibanding Daniel. Yang kuhiraukan cuma tidur, tidur, dan tidur. Dan biarpun kusadari aku tak pernah dilayani oleh manusia lain sebagai pembeli, memangnya aku peduli? Aku terlalu malas memikirkan hal membingungkan semacam itu.
Lalu yang paling merasakan dampak dari status 'manusia fiksi' itu tentu saja Mine dan sekarang muncul Rieno-sensei. Mereka terlihat seperti hampir depresi mengetahui kehadiran mereka tak terakui oleh manusia-manusia lain. Seperti seorang murid yang selalu diabaikan teman-teman sekelasnya; tak pernah ditemani.
Meski aku merasa tidak apa-apa dengan kesendirian, aku bisa merasakan pedihnya hati mereka berdua. Harus hidup 'sendirian' di tengah ramainya lalu-lalang orang yang tak akan pernah menyadari keberadaan mereka.
Setelah pembicaraan yang tiba-tiba menjadi serius itu, Junko meninggalkan perpustakaan dengan wajah menahan amarah. Entah dirinya kesal pada siapa. Salah sendiri terlalu berharap dan berekspektasi kepada orang lain.
Sedang Daniel dan diriku tak terpengaruh. Malah Mine yang menatapku terkejut dengan mulut menganga.
"H-Hiro-kun manusia fiksi juga?"
Aku membalas tatapannya, sudut bibir tertarik ke bawah. "Kayaknya gitu." Kukedikkan bahu sebagai tanda kekurang-pedulianku mengenai masalah ini.
Mine mengalihkan pandangannya lagi, menatap pada lengannya yang terjulur di meja.
Selama beberapa saat keadaan menjadi hening. Hanya suara pendingin udara yang sedari awal musim panas terus menyala entah siapa yang menyalakan dan mematikan.
Di perjalanan pulang, Mine banyak diam. Pasti pikirannya tertuju ke diriku yang 'sejenis' dengannya. Harusnya sih dia merasa bahagia atas ini. Tapi sikap bungkamnya seolah menandakan sebaliknya.
Setelah makan malam, aku mengurung diri di kamar, berkutat dengan naskah yang sedang kukerjakan. Cerita tentang diriku dan Mine. Aku tak perlu sakit hati lagi melihat Mine memerhatikan laki-laki lain. Oh ternyata aku ini lumayan pecemburu. Agak membuatku tidak bisa berkata-kata.
Aku mengetik di laptop lebih lama, sampai tengah malam. Sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kenyataan terungkapnya siapa sebenarnya aku, Daniel, dan Junko. Kami sama seperti Mine. Manusia fiksi. Ada kehadiran orang baru juga. Terlebih dia seorang guru yang patah hati karena selalu diabaikan murid-muridnya dan tak punya jadwal mengajar.
Ketika jari-jariku masih anteng menimbulkan suara tik-tik keyboard di tengah suasana remang kamarku, pintu yang tak jauh di sebelahku terbuka. Muncullah Mine dengan raut datarnya di sana.
Aku mematung. Bukannya segera menutup layar laptop agar tak bisa lihat, aku malah tak sanggup menggerakkan sendi-sendi tubuhku seolah tertangkap polisi. Memangnya aku sedang melakukan kejahatan, ya?
Bola matanya yang mengarah lurus ke tulisan-tulisan yang kuketik itu, menyaratkan dirinya yang seakan tahu soal diriku yang telah lama melanjutkan proyek yang sempat dibatalkan ini. Pandangan tanpa ekspresi Mine telah memberitahuku tanpa perlu dirinya mengeluarkan kata-kata.
"Hiro-kun sedang ngapain?"
Aku tertegun. Jarang sekali Mine mengeluarkan nada tak minat begitu. Kesalahanku benar-benar fatal, ya?
Kuteguk ludah susah-susah. "Me-menuliskan cerita tentang kita berdua." Kulirik layar laptopku yang menyala terang.
Mine mendekat. Telapak tangannya dia simpan di permukaan meja, menopang tubuhnya yang berdiri di sampingku.
Pada saat itu jantungku terpompa-pompa tak tenang. Namun aku pun tak mampu mencari pembenaran atas kelakuan diam-diamku ini.
"Kenapa Futaro-kun-nya diganti jadi Hiro-kun?"
Apa? Dia tidak suka, ya?
Aku menggeser posisi sedikit menjauhinya. "Biar lebih gampang ditulis saja. Tidak perlu riset. Dan aku tidak perlu patah hati melihatmu... bersama laki-laki lain?"
Semoga jawabanku dapat mencairkan raut datarnya. Sungguh, aku tidak suka menyaksikannya. Seperti bukan Mine yang aku kenal.
Mine menggerak-gerakkan kursor ke atas, melihat sejauh mana aku telah menulis cerita ini.
Sudah jauh sekali.
Diam-diam aku menikmati dan terbuai oleh kegiatan ini. Meski gaya bahasanya jelek, setidaknya masih bisa dibaca dan dimengerti.
"Mine...?" Kucoba memanggil namanya dengan suara pelan, memastikan dia baik-baik saja. Tapi pasti tidak baik-baik saja.
"Kenapa Hiro-kun melanjutkan proyek ini secara diam-diam? Kenapa tidak memberitahuku? Bukannya kau sudah berjanji tidak akan meneruskan cerita yang bakal membuatku pergi meninggalkan dunia ini?"
Keningku berkerut. Berjanji tidak akan meneruskan cerita? Seingatku soal itu aku tidak mengatakan janji. Aku hanya berkata akan melakukan apa saja untuknya. Dan jika dirinya tak ingin cerita ini berlanjut sebab tak mau berpisah denganku, terpaksa aku tak menyetujuinya karena aku punya pandangan sendiri.
Mine tak bisa selamanya tinggal di dunia yang bukan dunianya ini. Cepat atau lambat, dia harus pergi ke tempat dirinya berasal. Dan itu bukan di sini.
"Aku...," aku kesusahan memilih kata. "Aku juga tak ingin berpisah denganmu, Mine. Tapi itu bukan yang terbaik. Bagaimana pun juga kau tak boleh lama-lama tinggal di dunia ini, atau sesuatu yang buruk mungkin akan menimpa dirimu."
"Sesuatu yang buruk apa?" Mine memundurkan punggung. Ditatapnya sengit diriku yang tak memahami dia saat ini.
Itu pertama kalinya Mine memberikan ekspresi wajah seperti itu padaku.
"Sesuatu yang buruk apa, Hiro-kun?"
Di kepalaku saat ini, tiba-tiba aku menganggap Mine egois. Dia hanya ingin membahagiakan diri dengan terus bersamaku, selamanya, bahkan di tempat yang mungkin berbahaya untuknya. Dia tidak memikirkan apa yang terbaik untuk kami berdua saat ini. Mine hanya mengedepankan perasaan. Perasaan dirinya saja.
Mendapat perlakuan menyalahkan begitu, aku lantas ikut menatapnya sengit. Aku berdiri dari duduk, menghadap tubuhnya. "Kau ingin selamanya terlena akan sesuatu yang tak pasti?"
"Tak pasti? Maksudmu kebersamaan kita itu tak pasti meski kita saling menyukai?"
"Hubungan kita pasti ada ujungnya, Mine. Kalau kita bersama terus di saat tahu semuanya pasti akan berakhir, itu namanya buang-buang waktu dan semakin menyakiti diri dengan kenangan yang tak habis-habis!"
PLAK!
Lho. Kok aku ditampar?
Mine menunduk. Bibirnya bergetar-getar seakan menahan sesuatu yang hendak keluar. "Bukannya selagi ada waktu, kita harus memanfaatkannya? Dengan Hiro-kun melanjutkan proyek ini, Hiro-kun seolah ingin aku segera pergi. Hiro-kun menginginkan itu?"
"Tidak. Tapi harus!"
"Kenapa harus?"
"Kau tak bisa hidup selamanya dengan diabaikan orang-orang lain, Mine."
"Ya sudah, tak apa! Aku masih punya Hiro-kun—"
"Jangan bergantung padaku terus."
Aku tak mengerti lagi dengan jalan pikirannya ini. Soal masalah ini, pemikiran kami jelas berbeda. Meski aku berkata Mine sebaiknya pergi meninggalkan dunia ini cepat-cepat, itu karena aku peduli padanya. Aku tak ingin Mine menjadi hantu selamanya.
Dan Mine justru menganggapku sebaliknya. Bertentangan dengan kemauannya untuk terus tinggal di sini.
Ini... rumit.
Kami tak lagi mempunyai tujuan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
Romanceada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.