Mine bilang, dia seseorang yang penakut; tak berani keluar perpustakaan karena pikirnya manusia-manusia di luar sana berbahaya. Lalu, apakah karena sakit hati padaku, dia rela menembus ketakutannya itu demi menghindari diriku?
Entah, apa aku harus bersyukur atau tidak.
Aku terus mencari Mine ke sepenjuru sekolah. Tidak mengerti mengapa aku bersikap peduli. Padahal harusnya aku merasa senang mengingat dia yang tak akan ada di sekitarku lagi (kemungkinan dia bakalan benci aku, kan?). Memangnya aku takut hantu ya sampai tak mau digentayangi begitu?
Tapi tetap saja aku melangkahkan kaki ke sana kemari membuat diri lelah karena sosoknya tak kunjung aku temukan.
Di kelas tak ada. Seluruh laboratorium tak ada. Gedung khusus berisi ruang-ruang klub tak ada. Orang yang penakut begitu jika melarikan diri, biasanya suka pergi ke mana? Ke tempat aman lainnya? Unit kesehatan siswa?
Tetap tak ada.
Aku memikirkan kemungkinan lain. Ketika berada di tempat yang dipenuhi orang berbahaya (asumsinya), kalau tidak ke tempat aman, dia akan menyembunyikan dirinya dari mereka ke sudut paling terpencil.
Dan Mine pun terlihat sedang memeluk lututnya di bawah pancuran-pancuran keran di pinggiran lapangan besar. Wajahnya tertutupi lengan dan sangat tampak menyedihkan.
Aku membuang napas, merasakan keringat mengucur dari pelipis. Tangan menyangga ke tepi tembok keran, aku melihati Mine dari atas yang tak kunjung sadar aku telah berdiri di sampingnya.
Haus sekali.
"Perkataanku tadi memang sangat kurang ajar." Aku memulai kata-kataku. "Biarpun kau merepotkan, seharusnya aku tak terang-terangan mengatakannya padamu. Dan biar kau menggangguku berkali-kali sampai membuatku tak nyaman, tak seharusnya aku melukai perasaanmu. Jadi aku minta maaf atas perkataanku tadi."
Selesai. Aku telah minta maaf padanya. Tugasku telah selesai.
Selesai.
Aku harap begitu.
Tapi Mine adalah orang yang pantang menyerah meski penakut.
Saat aku beranjak pergi dari sana tanpa menunggu reaksinya, Mine berdiri dan mengaduh. Kepalanya terbentur tembok keran bagian bawah. Mau tak mau aku berhenti untuk melihatnya.
"Aku ... juga minta maaf karena telah membuatmu tak nyaman." Wajahnya terlihat menyesal saat mengatakan itu. "Tapi aku serius soal permintaan tolongku membuatmu menuliskan cerita tentangku. Aku tidak bercanda soal itu. Aku sangat serius, Shiragami-kun."
Dengan dua tangannya berada di puncak kepala, Mine lurus menatap ke arahku yang berada tak jauh di depannya. Kami bertatapan selama beberapa menit.
"Aku harap, jika kemarin kau menyanggupi permintaanku, kau pun serius mau membantuku dan bukannya asal mengiyakan. Asal kau tahu saja, itu sangat berharga bagiku. Jadi jika kau mempermainkannya, itu sama saja dengan kau mempermainkan hati seorang gadis!"
Suaranya meninggi di akhir. Dia lantas berjalan cepat melewatiku dan berhenti di sana. Mungkin rasa takutnya masih menyelimuti hati.
Kami pun berjalan menuju perpustakaan nomor dua dengan dia yang berada di sampingku, terus mendekatkan diri padaku dan aku menjauhkan diri darinya. Dikasih hati minta jantung.
"Mereka tidak berbahaya. Mereka sama sepertimu selain punya teman dan tidak kesepian."
Dia menyikutku. "Bisakah kau bersikap lebih baik setelah minta maaf padaku?"
"Memangnya baik versimu seperti apa?"
"Berhenti mengeluarkan kata-kata pedas," katanya. "Hatiku rapuh sekali, mudah menangis dan terluka."
Oh. Baiklah.
Aku punya tanggung jawab yang sangat berat. Kata-kataku memang suka pedas soalnya biar aku jarang memakan masakan pedas.
Kami sampai di perpustakaan tempat Mine tinggal. Di sepanjang koridor yang kami lewati tadi, masih ada segelintir siswa yang membicarakan hantu yang bergentayangan di sini (Mine). Dia sendiri tampak merasa bersalah karenanya.
Aku dan Mine membuat kesepakatan. Tidak benar-benar disebut kesepakatan sih. Hanya saja ketika aku disuruh 'serius' dan 'bertanggung jawab' tentang penerimaan pertolongan itu, aku mengajukan keringanan.
Seperti yang sebelumnya kukatakan ke dia, aku tidak akan mudah begitu saja bisa langsung membuat cerita. Mine harus mengerti.
Kita harus saling mengerti.
Jadi aku diberi waktu satu minggu sebelum hari pertama pembuatan cerita. Mine membiarkanku menjalani kebiasaanku yang biasa sebelum nantinya aku akan disibukkan oleh urusannya.
Sudahlah. Sudah kepalang tanggung.
Selama satu minggu itu pula, aku dan Mine akan melakukan pendekatan. Tidak begitu juga, sih. Aku hanya akan memidahkan tempatku tidur di perpustakaan nomor dua dan Mine ada di sana. Secara tidak langsung kami akan sering bertemu dan dia mengajakku mengobrol. Secara tidak langsung juga itu namanya pendekatan kan walau aku sama sekali tidak mendekatinya.
Aku hanya berada di tempat yang sama dengan dia.
Hari-hari berikutnya pun datang. Aku pergi ke perpustakaan meski sedikit malas; malas bertemu dengannya. Wajah Mine berseri-seri menyambut kehadiranku walau kemarin dia menangis karenaku. Mengingat itu selalu membuatku merasa bersalah. Mungkin karena itulah aku mencoba sering-sering main ke sini.
"Aku tidak mengerti dengan cara kerjamu sebagai hantu." Aku bertanya padanya di suatu istirahat makan siang. Mine sedang memakan kotak bekal yang biasa dimakan orang-orang kelasku. Dari mana dia mendapatkannya?
Mine melahap sosis berbentuk guritanya dengan nikmat. "Kau ini keras kepala ya, Shiragami-kun. Padahal sudah kubilang aku ini tokoh fiksi alih-alih hantu. Beda lho soalnya."
"Apa, bedanya?"
"Bisa makan," jawabnya. "Bisa mandi, bisa buang air, bisa tidur. Ya sama seperti manusia biasa."
"Terus, kau melakukan semua itu di sini di tempat ini?" Rautku tak peduli walau kenyataannya agak penasaran.
Aku tidak mengerti kenapa Mine malah mengangguk dengan bangga. "Tempat ini lengkap sekali fasilitasnya. Kau lihat di sana."
Dia menunjuk ke sebuah pintu di pojok perpustakaan. Kukira itu tempat penyimpanan berupa rak-rak berisi arsip zaman dahulu. Biasanya isinya begitu.
Tetapi Mine berkata, "Di sana ada futon. Ada rak cemilan juga."
"Tapi tidak ada toilet?"
Dia menatapku datar. "Mengetahui urusan pribadi seorang gadis itu tidak sopan."
Aku berhenti bertanya. Mine ini sangat menjunjung tinggi harga diri seorang gadis, ya.
"Kenapa futon dan rak cemilan bisa ada di sana?" Mulutku mengkhianatiku.
"Ada seseorang yang membuatnya lalu meninggalkannya." Bahunya terangkat singkat. "Aku tak sengaja menemukan kuncinya dan menemukan harta karun tersebut. Mungkin dulunya dia menggunakan itu sebagai markas. Aneh sih kalau dipikir-pikir kenapa bisa ada ruangan seperti itu di perpustakaan."
Misteri pertama. Kenapa ruangan yang kukira ruang penyimpanan itu isinya ternyata tempat menginap yang Mine bilang ideal. Mine seolah datang dengan membawa hal-hal aneh lain.
"Kau mau ke sana?" tanyanya.
"Nanti saja." Karena memang belum tertarik. "Itu kan kamar seorang gadis. Bukankah tidak sopan jika aku mengusik urusan pribadinya?"
Mine terkejut. Sempat kulihat pipi bersihnya merona merah.
Dasar mudah terbawa perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
the fiction girl want her story [end]
عاطفيةada gadis yang mengaku 'tokoh fiksi' di perpustakaan nomor dua yang hiro temui.