Dua Puluh Enam

1K 100 46
                                    

Selamat pagi!!

Kangen Regan sama bang Tian, apa kangen Minvan?

Di part ini jawaban dari pertanyaan kalian mungkin ada disini, sok langsung bae!

Di part ini jawaban dari pertanyaan kalian mungkin ada disini, sok langsung bae!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Obat kemo terpaksa dimasukkan meski kondisi Regan terbilang tidak stabil, berbagai alasan melandasi keputusan Panca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Obat kemo terpaksa dimasukkan meski kondisi Regan terbilang tidak stabil, berbagai alasan melandasi keputusan Panca. Salah satunya, karena kanker itu tidak bisa dimanja lagi, atau akan semakin cepat bermetastasis dan memperpendek usia Regan.

Sejak pagi, Tian sudah diperingatkan, kalau kali ini mungkin Regan akan mengalami efek samping obat lebih cepat. Ia ada disini, tapi seolah tak berguna karena yang bisa ia lakukan hanya menyaksikan. Regan masih menolak sentuhan darinya, meskipun tubuhnya menggigil kedinginan, demam tinggi, dan sakit sana sini, Regan kekeh merasakannya sendirian.

Adiknya itu masih sekeras sebelumnya. Memarahinya juga bukan hal baik, karena kondisi mentalnya juga tidak stabil, dan itu bisa berpengaruh pada kesehatannya.

Tian dengan sigap menadahkan wadah saat Regan memuntahkan isi lambungnya. Tak kuasa melihat adiknya terbaring tanpa daya dengan kondisi yang sang memprihatinkan. Tubuhnya semakin kurus, rambut Regan mulai rontok perlahan. Tian tidak pernah menyangka Regan akan menghadapi kondisi seperti ini. Kadang, Tian berpikir mungkin menyerah juga bukan pilihan buruk, apakah lebih baik jika Tuhan mengambil adiknya? Dengan begitu sakit yang Regan rasakan akan sembuh, bukan?

"B-bang! Nggak kuat bang! Sakit." Pada akhirnya ego itu luluh bersama jeritan kesakitan yang tak tertahan.

"Iya, ditahan ya?" Tian membaringkan kembali Regan yang gemetaran menahan sakit. Kemo pertama tidak separah ini, saat itu Regan masih sanggup tidur.

"Hiks, mau mati aja rasanya." Lirih Regan putus asa.

"Sstt, adek jangan gitu!" Tian mengusap punggung Regan yang membelakanginya.

"Sa-kit." Regan meringkuk sambil memukuli tubuhnya. "Jangan gini." Tian mengambil kedua tangan Regan, "Istigfar dek."

Regan mengikuti apa yang Tian katakan, dia membaca istighfar dengan mencengkeram tangan Tian. Suara tersengal, putus-putus namun Regan berusaha mengendalikan rasa sakitnya dengan terus melafal, berharap itu menjadi mantra yang bisa menenangkan pusat syaraf rasa sakitnya. Perlahan, meski membutuhkan usaha keras yang menyakitkan untuk didengar oleh Tian, akhirnya Regan mampu menenangkan diri. Saat kantuk menyerang kedua matanya, lebih karena sudah kelelahan menahan sakit, mungkin. Tapi, Tian tetap bersyukur, setidaknya Regan tidak lagi kesakitan.

Kelu Berselimut SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang