35. Takdir

684 68 24
                                    

-----oOo-----


“Pagi, sayang,” ucap Jeremy yang baru saja datang dari kamar menuju ruang makan.

“Pagi.”

“Kakak mana?” tanya Jeremy pada Lilly.

“Udah berangkat sama Bunda,” jawab Lilly.

“Wah, sekarang semangat banget ya pergi sekolahnya. Bahkan gak pamitan dulu sama Papinya.” Jeremy bergeleng kepala. Bagaimana tidak, ia baru saja keluar dari kamar setelah bersiap-siap, tapi Abel sudah tidak ada.

Lilly hanya tersenyum sambil mendekat menyiapkan sarapan untuk suaminya itu.

“Kalau adek gimana?” tanya Jeremy sambil mengusap pelan perut Lilly yang kini sudah semakin besar.

“Tadi mules bentar, abis itu hilang lagi terus mules lagi. Tapi sekarang udah nggak kok,” jawab Lilly.

Tangan Jeremy terulur pada pinggang Lilly dan memberikan sedikit pijatan di sana. Posisinya saat ini Jeremy duduk di kursi dengan Lilly yang berdiri di hadapannya.

“Hemm, pegel ya?” tanya Jeremy.

“Iya, naik turun tangga aja udah kerasa banget pegelnya,” balas Lilly.

“Kalau ada apa-apa langsung hubungin aku ya. Hp-nya jangan sampai mati, harus nyala terus,” tutur Jeremy halus masih dengan memijat pinggang Lilly.

Kehamilan Lilly sudah menginjak bulan ke sembilan. Beberapa hari lagi ia akan lahiran. Dan Jeremy terus mewanti-wanti jika sewaktu-waktu Lilly merasakan kontraksi, ia akan menjadi suami siaga.

“Iya, Papi. Sekarang Papi sarapan dulu, nanti terlambat,” ujar Lilly.

Jeremy pun mengikuti apa kata Lilly, lelaki itu menghabiskan sarapannya. Saat ingin beranjak menuju rumah sakit pun Jeremy harus melakukan ritualnya setiap pagi. Yaitu berbicara dengan si jabang bayi yang masih ada di dalam perut Lilly.

“Udah. Kamu berangkat sekarang,” tutur Lilly.

“Bentar, mau ngomong dulu sama adek.” Lelaki itu berjongkok dan mengusap pelan perut besar Lilly.

“Halo adek! Adek lagi ngapain? Bobo ya? Sebelum Papi berangkat, kita bikin kesepakatan dulu mau nggak?” Lilly hanya terkekeh pelan mendengar kata Jeremy.

“Nanti kalau adek udah gak sabar mau ketemu Papi Mami, kasih tahunya sama Mami pelan-pelan ya. Jangan bikin Mami nangis, harus bikin Mami nyaman pokoknya. Adek pintar kan, jadi harusnya adek ngerti.” Jeremy terus berbicara dengan perut Lilly.

“Papi berangkat dulu ya.” Jeremy mencium perut Lilly sebelum menegakkan kembali tubuhnya. Lelaki itu mendekat, mencium kening Lilly.

“Aku berangkat dulu ya.”

“Iya. Hati-hati ya.”

Jeremy pun berangkat menuju rumah sakit untuk bekerja. Lelaki itu belum mengambil cuti. Padahal ia bisa saja cuti sesuka hati, mengingat ia juga seorang direktur. Tapi, Jeremy belum mengambil cutinya karena hari ini banyak sekali jadwal operasi. Mungkin besok, ia bisa cuti.

Jujur saja, Jeremy juga ingin menjaga si jabang bayi yang belum tahu jenis kelaminnya itu. Bukannya malas untuk melakukan USG, hanya saja si adik yang selalu menyembunyikan identitas setiap kali melakukan USG. Mungkin ia pemalu.

Jadi, untuk saat ini mereka berdua sudah menyiapkan dua nama untuk si adek. Satu nama laki-laki, satu nama perempuan.

***

Siang ini, sepulang Abel dari sekolahnya, Lilly tengah menemani anak itu bermain di halaman depan. Rumah mewah yang Jeremy beli itu memiliki halaman yang sangat luas. Terdapat banyak bunga di sana. Jeremy sengaja menanam banyak bunga karena baik Lilly maupun Abel sama-sama menyukai bunga. Halamannya benar-benar luas, untuk keluar pagar depan saja membutuhkan waktu yang lama.

Jeremy and His Enemy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang