23. Abang

396 70 3
                                    

-----oOo-----

Seperti suatu kebetulan di malam hari. Lilly tidak sengaja bertemu dengan Jefan di minimarket dekat apartementnya. Gadis yang selalu bersama dengan Abel itu kini tengah sendirian pergi ke minimarket. Ia sedikit terkejut saat dipertemukan dengan kakak tengahnya yang juga sendirian saja.

“Kok lo bisa belanja di sini juga?” tanya Lilly pada Jefan.

“Ya emang kenapa? Gak boleh?”

Lilly berdecak, “Nanya doang, bang.”

Jefan terkekeh pelan, “Ini satu-satunya minimarket yang paling deket sama rumah gue.”

Dan jika sudah begini, Lilly pasti akan menyempatkan waktu untuk mengobrol bersama dengan Jefan. Maka, di sini lah mereka, duduk berdua di depan kursi minimarket. Jujur saja Lilly juga rindu dengan kakak laki-kakinya itu. Ya...walaupun ia sangsi saja mengatakannya pada Jefan. Bisa besar kepala pria itu nantinya jika Lilly blak-blakan mengatakan rindu padanya.

“Gimana kabarnya?” Tanya Jefan.

Lilly melotot, tangannya terulur menyentuh kening kakaknya.

“Kenapa sih? Ditanyain juga.” Jefan memicing.

“Gak panas. Tumben banget lo nanyain kabar gue.”

Jefan terkekeh. Jujur saja ia gemas dengan adik satu-satunya ini.

“Ya gimana ya, sekarang kan gue gak bisa ngawasin lo lagi, gak bisa jagain lo lagi. Karena gue udah ada Rossa. Jadi, gue gak bisa apa-apa selain nanyain kabar lo, Li.”

Entah karena moodnya yang gampang berubah sebab datang bulannya hari ini, atau memang Lilly benar-benar terharu dengan perkataan Jefan. Yang jelas Lilly merasakan matanya memburam saat ini juga.

“Eh? Kok nangis? Kenapa? Ada masalah? Cerita sama gue,” ujar Jefan seraya mengusap air mata Lilly.

Lilly di sana hanya menggeleng dan tersenyum.

“Lilly kangen aja sama Abang,” ujarnya seraya mengusap air matanya sendiri.

Jefan tersenyum, “Dih, bertahun-tahun lo tinggal di Amerika, baru kali ini lo bilang kangen sama gue.”

“Bisa serius bentar gak. Ini gue udah nangis begini masih bercanda aja.” Lilly kembali merengek.

“Ututuu adek gueee.” Jefan dengan sigap memeluk adik bungsunya.

“Jujur gue juga kangen sama adek gue yang nyebelin ini.” Jefan semakin mengeratkan dekapannya pada Lilly.

“Kalau kangen, tinggal main ke rumah aja. Pintu gue terbuka lebar untuk adek gue yang paling cantik ini.” Jefan melepaskan dekapannya dan tangannya kembali terulur mengusap air mata Lilly.

“Udah ah jangan nangis.”

Lilly hanya mengangguk sambil menuntaskan senggukannya.

“Masa udah mau nikah masih cengeng aja,” celetuk Jefan.

Lilly mendelik, “Siapa yang mau nikah?!”

“Ini kayaknya doa lo terkabul sekaligus lo kena karma deh, Li,” celetuk Jefan.

Lilly memicing, “Karma gimana?”

“Waktu dicengin sama anak-anak dulu kan lo pernah bilang gini, 'Mending gue nikah sama duda, ketimbang sama Jeremy.' Kurang lebih tepatnya begitu seingat gue. Dan sekarang lo beneran mau nikah sama duda kan? Dudanya itu Jeremy lagi.” Jefan tertawa mengejek.

Lilly semakin memicingkan matanya, “Apasih! Kapan gue bilang begitu? Kagak pernah tuh. Lo ngarang ya.”

Jefan terkekeh pelan, “Dih, nyangkal.”

Jeremy and His Enemy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang