27. Emoji Love

379 67 8
                                    

-----oOo-----

Beberapa hari telah berlalu. Hari-hari itu Jeremy beristirahat untuk melakukan penyembuhan terhadap lengannya yang cedera. Selama Jeremy cuti, lelaki itu hanya bisa berdiam di apartemennya. Karena ia merasa kesulitan jika harus beraktivitas, terlebih lagi ia tak bisa dengan leluasa menggunakan tangan kirinya.

Abel juga bersekolah dengan diantar oleh Yumi. Lilly masih bekerja sebagai guru di sekolahnya Abel. Namun, gadis itu masih tinggal di rumahnya. Lilly enggan kembali ke apartemen, alasan utamanya adalah tak ingin melihat wajah Jeremy. Gadis itu seperti sudah hilang respect pada Jeremy.

Hari ini, Jeremy sudah bisa mengantarkan Abel sekolah. Entah memang sudah jodoh atau bagaimana. Saat dirinya keluar dari mobil, matanya menemukan Lilly juga baru sampai.

“Miss Lilly,” sapa Abel.

“Hai, Abel.”

“Miss sekarang kenapa gak mau main sama Abel? Abel nakal ya? Atau Papi yang nakal?” tanya Abel.

“Nggak, sayang. Abel anak pintar kok,” ujar Lilly.

“Terus kenapa Miss gak mau main sama Abel lagi sama Papi juga?”

Lilly mengusap pelan rambut Abel, “Nanti ya, sekarang kamu masuk dulu. Itu udah ditungguin teman kamu.”

Abel pun mengangguk dan segera berlari memasuki sekolahnya.

Lilly sudah ingin beranjak, tapi kakinya berhenti saat Jeremy memanggilnya.

“Lilly.”

“Kenapa?”

“Aku perlu ngomong sama kamu,” sahut Jeremy.

“Gue mau ngajar,” ujarnya dengan nada dingin.

“Bentar aja.”

Lilly menghela napas, “Yaudah. Cepet ngomong.”

“Masuk ke mobil aja, gak enak kalau ngomong di sini,” ajak Jeremy.

Lilly lagi-lagi menghela napas kasar walaupun gadis itu tetap mengikuti Jeremy masuk ke dalam mobil.

“Mau ngomong apa?” ujar Lilly. Gadis itu hanya menatap lurus ke depan.

“Aku mau jelasin masalah kemarin. Sebenarnya Abel itu bukan anak Sinta. Ibu Abel udah lama meninggal karena bunuh diri. Dan Ayahnya sampai saat ini juga gak tau keberadaannya,” jelas Jeremy.

Lilly kemudian menoleh dan menatap Jeremy, “Terus yang dibilang Sinta waktu itu?”

Jeremy menghela napas sejenak sebelum berkata.

“Sinta itu salah satu pasien rumah sakit jiwa yang kabur di hari itu. Dia syok berat karena ditinggal bayinya meninggal, makanya tiap dia lihat anak kecil pasti dikira anaknya. Tapi aku herannya, kok dia masih inget aku padahal jiwanya udah keganggu,” jawab Jeremy.

“Lo gak lagi ngarang cerita kan?” Lilly memicing.

“Aku gak segabut itu, Li, sampai harus ngarang cerita segala. Aku beneran jujur sama kamu.”

Lilly hanya terdiam.

“Kalau kamu gak percaya, nanti sepulang ngajar, ayo ikut aku,” ajak Jeremy.

“Kemana?” Kening Lilly berkerut.

“Ke tempat dimana kamu akan percaya sama semua omonganku.”

Lilly bertanya-tanya, tempat mana yang dimaksud oleh Jeremy. Gadis itu mengiyakan ajakan Jeremy. Tapi di sepanjang waktu, ia terus kepikiran. Kemana Jeremy akan membawanya?

Jeremy and His Enemy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang