17. Never Ending Saga

475 72 9
                                    

-----oOo-----

Pernahkan kalian merasakan penyesalan? Penyesalan terbesar dalam hidup yang akan terus mengikutimu kemana saja bagaikan bayangan?

Itulah yang Jeremy rasakan saat ini. Napasnya tertahan seperti pasokan oksigen di dunia ini telah habis.

Jeremy membenci dirinya sendiri. Membiarkan Lilly menyeberang di jalanan yang ramai adalah penyesalan terbesar yang pernah ia lakukan.

Kini di jalan, dengan Reyhan sebagai pengemudi, ia hanya bisa berdoa agar keburukan tak menimpa gadis yang saat ini berada di pangkuannya.

Jeremy semakin meringis kala mendengar rintihan Lilly. Gadis itu terus meneteskan air matanya di samping Jeremy yang terus mendekap erat dalam pangkuannya.

“Sabar, ya, Li. Gue tahu lo kuat kok. Bentar lagi sampai.” Hanya itu yang bisa Jeremy katakan berkali-kali.

Entah mengapa waktu terasa berjalan begitu lambat. Jeremy sedari tadi tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Rintihan Lilly begitu menyakitkan terdengar di telinganya. Jeremy semakin panik ketika Lilly mulai tak sadarkan diri.

Seandainya saja Jeremy tak menyuruh Lilly mendatanginya, mungkin gadis itu tak akan mengalami kecelakaan tabrak lari.

Ya, si penabrak melarikan diri usai menyerempet Lilly yang hendak menolong Abel. Mendengar cerita dari saksi mata, pelaku hampir menabrak Abel yang tengah lari. Namun, karena Lilly menyelamatkannya, maka dia lah yang tertabrak dan kening kanannya terbentur cukup keras.

Sampai di rumah sakit, Jeremy langsung menangani Lilly. Karena rumah sakit tempatnya bekerja adalah rumah sakit paling dekat dengan tempat kejadian.

Beruntung luka di kening Lilly tergolong kecil. Namun, sobekannya cukup dalam sehingga mengeluarkan banyak darah dan harus menerima beberapa jahitan.

Untuk kakinya juga tergolong tidak parah, tapi ada memar dan terlihat bengkak. Kata Jeremy, Lilly harus menjalankan rontgent untuk mengetahui apakah ada kepatahan tulang atau tidak.

Dan hasil rontgent mengatakan jika kaki Lilly mengalami retak minor sehingga menyebabkan pembengkakan dan memar. Karena tergolong tidak parah, jadi Jeremy hanya membalut kaki Lilly dengan gips agar posisi tulangnya tidak berubah.

Tak ada luka lainnya lagi, hanya ada goresan-goresan kecil di badannya karena bergesekan dengan kerasnya jalan aspal.

Jeremy terus menemani Lilly di sepanjang waktu. Laki-laki itu bahkan mencari dokter pengganti untuk jadwal operasinya karena ingin fokus merawat Lilly.

Hingga kini, Lilly terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa mendera tubuhnya. Pertama kali ia mampu membuka matanya, yang ia lihat adalah Jeremy yang tengah tertidur di kursi dengan kepala yang tergolek di sampingnya. Tangan lelaki itu setia menggenggamnya erat.

Jeremy yang merasakan ada pergerakan pun terbangun. Ia terperanjat sekaligus merasa lega melihat Lilly tersenyum tipis.

“Li?”

“Maaf, lo jadi kebangun,” ujar Lilly pelan. Kini kepalanya terasa sangat berdenyut.

It's okay, lo butuh sesuatu?” tanya Jeremy. Lilly melihat dengan jelas, masih ada gurat khawatir di sana.

Gadis itu mengangguk perlahan, “Haus.”

Jeremy dengan segera menaikkan sandaran ranjang dan memberikan segelas air putih untuk Lilly. Hati Lilly menghangat. Jujur saja, di saat seperti ini, Jeremy malah terlihat seperti pacar yang pengertian.

“Mana yang sakit, hm?” tanyanya yang sekali lagi terlihat seperti pacar yang perhatian karena tangan laki-laki itu dengan lembut mengusap punggung tangannya.

Jeremy and His Enemy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang