15. Alasan dan Trauma

1.7K 327 106
                                    

BAGIAN 15
SEBELUM FAJAR
©NAYLTAE
2023

.

.

.

KEGIATAN Hadyan mulai hari ini akan lebih sibuk dari hari-hari sebelumnya. Di gubuk tua ini, ada banyak peninggalan perkakas yang kemudian memunculkan ide di kepala Hadyan. Setelah semua orang selesai sarapan, beberapa ada yang pergi berjalan-jalan sedangkan sisanya menetap di gubuk. Pagi itu Hadyan memilih untuk pergi ke hutan dan berburu pohon-pohon tumbang untuk diambil kayunya.

Hadyan mengikat rambutnya yang tak gondrong-gondrong amat dengan gelangnya, bsantai sambil bersiul menyusuri hutan di bawah terik matahari demi menemukan pohon tumbang. Dia sudah memikirkan hal ini matang-matang sejak kemarin. Jika ingin pulang, tentu saja dia harus melakukan sesuatu.

Bertemu Hadyan dengan pohon berbatang besar di antara pohon-pohon lain yang masih kokoh berdiri. Dia mengetuk-ngetuk badannya, memastikan tekstur kayu itu mudah untuk dipotong. Pasalnya, ukuran batang itu terlalu besar untuk dipotong dengan gergajinya yang kecil.

Meski kesulitan dan membutuhkan tenaga yang luar biasa besar, namun di sinilah Hadyan sekarang, terkapar di atas tumpukkan kayu yang dia bawa dari hutan ke gubuk tuanya.

"Lo mau ngapain, sih? Ada-ada aja, deh, kelakuannya." Julian yang penasaran menghampiri pria itu.

"Kelakuan lo lebih ada-ada lagi," balas Hadyan ngos-ngosan. Dia bangkit, kembali sibuk menghitung kayunya. "Gue mau bikin perahu buat kita pulang. Lo tahu, enggak, di seberang ada pulau? Siapa tahu di sana ada orang, kita bisa minta tolong."

Julian terkejut hingga spontan menjatuhkan rahangnya, namun sedetik kemudian, dia tertawa terbahak-bahak. "Astaga... Ide lo bagus, sih, cuma seriusan? Lo yakin bisa bikin perahu? Lo pikir bikin perahu tinggal rakit aja? Ada perhitungannya, Hadyan, yang ada ntar tenggelam di tengah laut. Gila lo."

"Gue dari kampung, kalo lo lupa. Bapak gue punya usaha panglong."

Meski tahu usaha Hadyan akan berakhir sia-sia, dia tetap menonton pria itu mengukur dan menggergaji kayu-kayu berukuran besar di depannya. Untuk ukuran seorang atlet voli yang biasa memegang bola, kemampuan memotong Hadyan cukup bisa diberi apresiasi. Hal itu membuktikan kalau Hadyan memang benar-benar anak seorang pengusaha panglong.

"Berbakat juga lo. Mau gue bantu?"

"Dari tadi harusnya lo menawarkan diri." Hadyan melempar pisau kecil kepada Julian, "Bantuin gue kasih tanda di semua kayunya, ikutin ukuran kayu yang ini."

"Gitu doang?"

Hadyan tertawa kecil. "Emang lo bisa apa lagi, sih."

Julian mencebik. Selagi dia sibuk menggarisi kayu-kayu, beberapa orang lainnya mulai tertarik dengan kegiatan mereka. Arjuna yang sebelumnya tengah berduaan dengan Amel kemudian menyusul, berjongkok sambil menopang dagu memperhatikan keduanya tanpa suara.

"Yang nonton doang enggak boleh naik perahunya,' sindir Julian.

Arjuna menatap si pemilik suara. "Emang lagi bikin perahu? Idenya siapa? Emang bisa?"

"Banyak tanya, deh."

"Jadi ini hal yang mau lo lakuin, Yan?"

Hadyan mengangguk dengan wajah bangga. "Setelah kita selamat nanti, kalian harus traktir gue makan selama satu minggu."

Julian mengangkat bahunya acuh, "Gue juga enggak yakin. Tapi kita serahkan semuanya kepada anak pengusaha panglong di depan kita ini."

Di dalam pikirannya, Arjuna mulai memvisualisasikan rupa perahu yang akan Hadyan buat. Kayu-kayu panjang berukuran besar itu memang bukan tidak mungkin disulap menjadi perahu jika tangan Hadyan benar seajaib itu. Dia mengapresiasi penuh usaha Hadyan untuk keluar dari pulau ini meski setengah akal sehatnya masih ragu.

Sebelum FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang